Kisah Inspiratif

Cerita Guru Tunanetra di Sidoarjo Dimudahkan Mengakses Layanan BPJS Kesehatan

Atung Yunarto Guru Tunanetra asal Sidoarjo Jawa Timur yang mendapatkan layanan inklusif dari BPJS Kesehatan.

|
Penulis: Farid Mukarom | Editor: faridmukarrom
Farid
Atung Yunarto Guru Tunanetra asal Sidoarjo Jawa Timur yang mendapatkan layanan inklusif dari BPJS Kesehatan. 

Eva mengajak masyarakat yang termasuk dalam kategori peserta prioritas untuk tidak ragu atau khawatir dalam mengurus keperluan administrasi serta informasi seputar kepesertaan BPJS Kesehatan.

"Kami di BPJS Kesehatan berkomitmen memberikan pelayanan yang terbaik kepada semua peserta. Kami ingin memastikan bahwa setiap peserta, terutama yang memiliki kebutuhan khusus, merasa nyaman dan terbantu dalam setiap langkah yang mereka ambil," pungkasnya. 

Penjelasan Pakar Kesehatan Masyarakat Unair

Dr. Ernawaty, drg., M.Kes, pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Airlangga, menambahkan pentingnya implementasi layanan kesehatan inklusif bagi penyandang disabilitas di seluruh fasilitas kesehatan, mulai dari tingkat pertama hingga rumah sakit tipe A, B, dan C.

Menurut Ernawaty, tanggung jawab ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 53, yang pada ayat 1 hingga 3 secara tegas mengatur hak penyediaan lingkungan inklusif bagi kaum disabilitas.

"Undang-undang ini mengharuskan semua fasilitas kesehatan untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat mengakses layanan kesehatan dengan aman, bermutu, dan terjangkau," ujarnya. 

Ernawaty menjelaskan bahwa dirinya juga ditunjuk sebagai salah satu asesor akreditasi layanan kesehatan, terutama di fasilitas kesehatan tingkat pertama.

Dalam peran ini, ia bertanggung jawab untuk menilai apakah sebuah fasilitas kesehatan telah memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan. Proses penilaian ini mencakup berbagai aspek penting yang harus dipenuhi oleh fasilitas kesehatan.

"Dalam proses penilaian, kami melihat berbagai aspek yang mencakup penciptaan layanan inklusif bagi penyandang disabilitas. Misalnya, apakah di depan faskes sudah ada petugas yang berjaga untuk membantu, kemudian bagaimana akses jalan bagi kaum disabilitas di area faskes. Semua itu termasuk dalam penilaian kami sebagai asesor," jelas Ernawaty.

"Jika semua persyaratan tersebut sudah terpenuhi, maka faskes atau klinik tersebut akan mendapatkan akreditasi yang baik," tambahnya.

Kata dia, akreditasi yang baik bukan hanya sekadar pengakuan formal, tetapi juga merupakan cerminan dari komitmen fasilitas kesehatan dalam memberikan layanan terbaik dan inklusif bagi semua pasien, termasuk penyandang disabilitas.

Ada beberapa indikator spesifik yang dinilai dalam proses akreditasi. Pertama, adanya pelatihan khusus bagi petugas kesehatan untuk menangani kebutuhan penyandang disabilitas.

“Petugas kesehatan harus memahami cara berkomunikasi dan memberikan bantuan yang sesuai kebutuhan masing-masing penyandang disabilitas,” jelasnya. .

Kedua, Faskes harus dilengkapi dengan peralatan yang mendukung aksesibilitas, seperti ramp, lift yang dapat digunakan oleh kursi roda, serta toilet yang ramah disabilitas.

Ketiga, adanya program edukasi kesehatan yang ditujukan khusus untuk penyandang disabilitas, agar mereka mendapat informasi yang mereka butuhkan dalam format yang mudah dipahami.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved