Liputan Khusus

Demo Agustus : Penangkapan Massal dan Dugaan Kekerasan Eksesif di Jawa Timur

KontraS Surabaya temukan dugaan kekerasan berlebihan polisi saat demo 29–30 Agustus 2025 di Jatim, ratusan ditangkap termasuk puluhan anak

|
Penulis: Farid Mukarom | Editor: Sri Wahyuni
Farid Mukarrom
Konferesi Pers KontraS Surabaya soal temuan adanya tindakan kekerasan oleh aparat keamanan pada Selasa (23/9/2025). 

Ia mengaku sekadar ingin melihat situasi dan sempat membawa sepotong besi kecil sebagai kenang-kenangan.

Namun saat hendak pulang, ia dicegat polisi. Dari pemeriksaan, ponselnya tidak menunjukkan keterlibatan dalam aksi, tetapi potongan besi di jok motor membuatnya ditangkap.

 “Saya langsung digiring ke depan gerbang Polrestabes Surabaya. Di sana saya dipiting, dipukuli, ditendang, bahkan diinjak-injak sampai berdarah,” ungkapnya.

Korban mengaku disiksa bersama ratusan orang lain. Mereka dipukuli dengan tongkat, sabuk kulit, hingga selang.

Penderitaan berlanjut saat korban dan ratusan tahanan lain dijemur, dipaksa jongkok naik tangga hingga lantai empat, dan kembali dianiaya.

TERPROVOKASI - Puluhan tersangka kerusuhan dan pembakaran saat demo di Surabaya pekan lalu ditahan di Polrestabes Surabaya. Sebagian memakai obat keras.
TERPROVOKASI - Puluhan tersangka kerusuhan dan pembakaran saat demo di Surabaya pekan lalu ditahan di Polrestabes Surabaya. Sebagian memakai obat keras. (surya/tony hermawan)

Ia menyebut ada sekitar 154 orang yang dipukul subuh itu, baik anak-anak maupun dewasa.

Bentuk perlakuan kejam lain juga muncul saat pemeriksaan urine. 

Para tahanan, termasuk anak-anak, dipaksa mengoleskan balsem ke alat kelamin mereka sebelum buang air kecil di bawah pengawasan ketat.

 “Rasanya panas sekali. Kalau tidak kencing, mereka mengancam akan memukuli kami,” ucap korban.

Selain luka fisik, korban kehilangan harta benda. Motor yang awalnya dalam kondisi baik rusak parah.

 Dompet berisi uang, STNK, kartu identitas, hingga kartu pelajar juga hilang.

“Saya sempat minta dompet saya, tapi tidak diizinkan. Justru dipukuli lagi,” katanya.

Korban menggambarkan tubuhnya penuh luka saat dibebaskan.

 “Baju saya penuh darah dan kotoran bekas diinjak-injak. Mata kanan bengkak, hidung berdarah, perut memar. Sampai sekarang saya susah makan karena ulu hati sangat sakit,” ujarnya.

Hal yang sama juga dialami oleh tahanan lain di Kediri Jawa Timur.

Dia adalah Saiful Amin alias Sam Umar (29), aktivis mahasiswa yang resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan terkait aksi demo ricuh yang terjadi di Kediri pada akhir Agustus lalu.

Penasihat hukum Saiful Amin, Taufiq Dwi Kusuma dari LBH Al-Faruq Kediri, menyayangkan tindakan kepolisian yang melakukan penggundulan terhadap Sam Umar atau SA.

“Alhamdulillah sejak saya dampingi sampai hari ini kondisinya Saiful Amin maupun Selvin Bima itu baik-baik saja cuma yang sedikit agak kami kecewa itu adalah digundul “ kata Taufiq

Meskipun pihak kepolisian berdalih alasan kesehatan, ia menilai tindakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

“Setelah saya protes, tidak ada lagi tersangka lain, seperti Bima, yang digunduli ketika ditahan,” ucapnya.

Di sisi lain Kasat Reskrim Polres Kediri Kota, AKP Cipto Dwi Leksana, menjelaskan bahwa proses penetapan tersangka SA dilakukan setelah gelar perkara.

“Setelah penyidik mengumpulkan minimal dua alat bukti yang sah, kita lakukan gelar perkara. Dari keterangan saksi, bukti surat, serta bukti petunjuk, penyidik menetapkan SA sebagai tersangka. Selanjutnya kita lakukan penangkapan,” ujar Cipto.

Saiful dijerat pasal 160 KUHP tentang Tindak Pidana Penghasutan dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara. 

Ia diduga berperan menghasut massa melalui ajakan, selebaran provokatif, hingga orasi dalam unjuk rasa yang berujung kerusuhan di kawasan Taman Sekartaji, Kediri, pada Sabtu (30/8/2025).

 ICJR Dorong Reformasi Polri

Sementara itu ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) menjelaskan menilai kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan bukanlah kejadian baru.

“Ini praktik yang terus terjadi tapi seolah tidak ada solusi, karena sistem hukumnya terlalu permisif (Semacam pembiaran, red),” ujar Maidina Rahmawati Deputi Direktur ICJR.

Medina juga menemukan contoh yang ditemukan pihaknya, seperti informasi penyiksaan dalam kasus pidana mati yang baru bisa terungkap jauh setelah sidang berlangsung. 

“Bukti biasanya sudah hilang, karena semua terjadi di ruang gelap penyidik. Pemeriksaan dan penahanan juga tidak diawasi CCTV independen,” jelasnya.

“Inilah celah yang membuat perlakuan sewenang-wenang kerap terjadi,” lanjut Maidina.

Terkait langkah hukum yang bisa ditempuh korban untuk mendapatkan keadilan, ia menyebut praperadilan sebagai opsi. Namun, jalannya sangat berat.

“Praperadilan itu sulit, karena korban harus membuktikan sendiri. Sementara pemeriksaan yang dilakukan tidak substantif,” ujarnya.

Sebagai solusi jangka panjang, ia menilai reformasi kepolisian mutlak diperlukan. 

Rekomendasinya jelas kewenangan polisi harus dikurangi agar tidak rawan disalahgunakan.

"Penangkapan juga seharusnya memerlukan izin hakim. Dalam kondisi darurat, memang bisa dilakukan penangkapan langsung atau tertangkap tangan, tapi tetap harus segera dihadapkan ke otoritas independen untuk diuji apakah ada penyiksaan atau tidak saat penangkapan,” pungkas Maidina.

Kompolnas: Polisi Jangan Merendahkan Martabat Manusia

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Khoirul Anam menjelaskan bahwa tindakan eksesif dan merendahkan martabat manusia (inhuman degrading treatment) tidak boleh dilakukan dalam tahap apapun, baik sebelum maupun sesudah pemeriksaan.

Menurutnya, praktik seperti penggundulan, pemukulan, pemaksaan untuk menanggalkan pakaian, maupun penggunaan kekerasan berlebihan tidak bisa diterima dalam tahapan penyelidikan apa pun.

Pernyataan ini menanggapi kesaksian sejumlah korban penangkapan di Surabaya, yang mengaku diperlakukan secara tidak manusiawi.

Berdasarkan kesaksian, setidaknya 150 orang dilaporkan dipaksa berjalan dengan lutut dari area parkir menuju lantai tiga, disertai pemukulan sepanjang jalan. Mereka juga dipaksa mengoleskan balsem pada alat kelamin satu sama lain.

“Perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat jelas dilarang pada tahapan penyelidikan apa pun, baik sebelum maupun sesudah pemeriksaan resmi,” tegas Anam Rabu (24/9/2025).

Ia menambahkan, Kompolnas sejak awal sudah mewanti-wanti agar kepolisian tidak melakukan tindakan eksesif dalam penanganan demonstrasi maupun penangkapan massa.

“Sejak awal kami sudah wanti-wanti tidak boleh melakukan tindakan yang eksesif (Kekerasan berlebih, red),” ujarnya.

Anam juga memastikan pihaknya akan menelusuri lebih jauh dugaan pelecehan seksual yang dialami para korban di Surabaya.

Menurutnya, Kompolnas telah memberikan peringatan kepada sejumlah Kepolisian Daerah (Polda) untuk menghindari tindakan serupa dan memastikan penegakan hukum berjalan sesuai prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Baca juga: Buka Bedah Buku Koleksi Perpustakaan Daerah, Wabup Syah Lega Minat Baca Anak Trenggalek Tinggi

Ahli Hukum UMS: Diskresi Polisi Harus Berbatas, Bukan Alat Represi

Sementara itu Satria Unggul Wicaksana Prakasa, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, menegaskan kewenangan diskresi atau freies Ermessen yang dimiliki polisi tidak boleh dijalankan secara sewenang-wenang. 

Menurutnya, diskresi seharusnya digunakan untuk menjaga ketertiban umum (public order), bukan menjadi dalih bagi aparat untuk bertindak berlebihan.

Unggul menekankan, dalam kasus yang melibatkan anak maupun kekerasan berat, arah diskresi seharusnya berpijak pada keadilan restoratif.

Hal ini sejalan dengan semangat reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru serta amanat Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012), yang menekankan penggunaan mekanisme diversi untuk tindak pidana ringan. 

“Kewenangan diskresi, atau freies Ermessen, yang dimiliki polisi memiliki batas dan tidak boleh dijalankan secara sewenang-wenang. Untuk kasus yang melibatkan anak atau kekerasan berat, diskresi kepolisian seharusnya mengarah pada keadilan restoratif atau diversi,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT), yang secara tegas melarang penggunaan kekerasan maupun penyiksaan selama proses penyidikan.

Karena itu, segala bentuk intimidasi, pemukulan, hingga kekerasan seksual yang terjadi atas nama penegakan hukum tidak dapat dibenarkan.

Lebih lanjut, Unggul menilai asas praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi, terutama bagi kelompok rentan seperti anak dan perempuan. 

Diskresi kepolisian, kata dia, semestinya digunakan untuk mengembalikan anak kepada orang tuanya, bukan mendorong mereka masuk ke dalam proses kriminalisasi yang justru merusak masa depan.

Ia juga mengkritik penggunaan istilah “anarkis” sebagai justifikasi atas tindakan represif aparat. Menurutnya, label semacam itu kerap dijadikan alasan untuk membenarkan kekerasan berlebihan. 

“Dan yang tidak kalah penting lagi adalah bagaimana jaminan dan akuntabilitas dari semua proses penegakan hukum, termasuk penggunaan kewenangan diskresi. Karena sekali lagi, secara filosofis, diskresi diperuntukkan untuk menjaga ketertiban publik, bukan untuk memunculkan kewenangan eksesif bagi penegak hukum,” tegas Unggul.

Dengan berbagai catatan itu, ia menyerukan perlunya reformasi kepolisian guna mencegah impunitas, serta memastikan bahwa penggunaan diskresi benar-benar berpihak pada keadilan, bukan menjadi instrumen represi.

Konfirmasi Kepolisian:

Dugaan kekerasan dan pengakuan dari korban sudah dikonfirmasikan melalu Kabag Humas Polrestabes Surabaya sejak tanggal 24 September 2025 oleh Tim Liputan.

Tim Liputan juga sudah mengirimkan pesan singkat berisi permintaan komentar dan poin-poin temuan namun tidak mendapatkan respons untuk pertanyaan yang disampaikan hingga Kamis (25/9/2025) pukul 15.30 WIB.

 

(Faridmukarrom/Tribunmataraman.com)

Editor: Sri Wahyunik

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved