Politik Identitas Disebut Tak Terlalu Berpengaruh terhadap Milenial
Politik identitas tak berpengaruh besar bagi kalangan milenial, termasuk pada Pemilu 2024
Penulis: Fransisca Andeska Gladiaventa | Editor: Amalia Purnama Sari
Pertanyaan tersebut direspons oleh Fritz Edward. Ia memprediksi hal itu mungkin saja terjadi di Indonesia. Asalkan, menurut dia, para pemimpin di Indonesia memiliki keberanian untuk melakukan perubahan.
Pertanyaan selanjutnya dilontarkan oleh Dito, mahasiswa FISIP Unila.
"Strategi seperti apa yang dibutuhkan oleh presiden di luar Jawa untuk bertarung di Pemilu 2024 nanti?" tanya Dito.
Hal itu dijawab oleh Triono. Ia menyebut ada banyak faktor. Namun, pola penggunaan media sosial dan kelompok-kelompok komunitas harus dirawat.
“Jadi, lebih pada pendekatan kepada masyarakat. Faktor media sosial memberi sumbangsih besar dalam pemilu," tutur Triono.
Selanjutnya pertanyaan dari Abethia Cahrani mahasiswa FKIP Unila.
Ia bertanya, "Syarat apa yang dibutuhkan untuk mendobrak tren presiden dari Jawa?"
Robi Cahyadi menjawab, sudah seharusnya partai politik memunculkan kandidat di luar Jawa.
"Analoginya ibarat makanan. Kalau sajiannya hanya itu-itu saja, maka pilihan juga terbatas. Harapannya, semakin banyak kandidat, maka pilihan juga semakin berwarna. Merespons pertanyaan tadi, ya kuncinya ada pada partai politik," jelas Robi.
Pertanyaan datang dari mahasiswa lain bernama Rian Ramadhan.
"Mengingat Indonesia sudah memasuki industri 5.0, yaitu digitalisasi, di mana media sosial sangat berpengaruh, pertanyaannya, bagaimana mengubah persepsi masyarakat terkait politik identitas yang mayoritas presiden berasal dari Jawa?” tanya Rian.
Merespons hal itu, Triono menjelaskan pola pendidikan politik sangat penting agar masyarakat tidak pragmatis.
"Melalui pendidikan politik yang masif dan tidak hanya dilakukan menjelang pemilu," ujarnya.
Segmen terakhir membahas tentang solusi agar pemilu berjalan lancar. Robi Cahyadi menyampaikan, KPU dan Bawaslu sebaiknya lebih mempublikasikan mengenai rekam jejak seluruh kandidat.
"Seluruh kandidat harus dipaparkan perjalanannya. Apakah dia pernah jadi napi atau pernah melakukan hal-hal yang tidak baik, ini disampaikan kepada masyarakat," jelasnya.
Selain itu, Robi menilai partai politik mesti lebih selektif dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden.
"Caranya bagaimana? Partai lebih melakukan pelacakan calon kepala daerah terbaik, lalu direkomendasi menjadi calon presiden. Jangan dimunculkan calon-calon yang hanya memiliki finansial. Tapi betul-betul dicari yang terbaik," jelasnya.