Politik Identitas Disebut Tak Terlalu Berpengaruh terhadap Milenial
Politik identitas tak berpengaruh besar bagi kalangan milenial, termasuk pada Pemilu 2024
Penulis: Fransisca Andeska Gladiaventa | Editor: Amalia Purnama Sari
TRIBUNMATARAMAN.COM - Politik identitas dalam pemilu dinilai tidak begitu berpengaruh bagi kalangan milenial, baik pada pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg), maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).
Hal tersebut diungkapkan oleh Rektor Universitas Megou Pak Tulang Bawang, Lampung Dr Triono dan Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FISIP Universitas Lampung Dr Robi Cahyadi dalam bincang bersama "Memilih Damai".
Bincang bersama dengan tema "Komparasi Alokasi Suara Pemilih Jawa dan Non-Jawa dari Pemilu 1955-2019" tersebut digelar Tribun Network dalam rangka menyambut Pemilu 2024.
Acara itu dihadirkan di sembilan provinsi di Indonesia, salah satunya Lampung.
Pada edisi Lampung, terdapat empat narasumber yang diundang. Selain Triono dan Robi Cahyadi, dua narasumber lainnya adalah Komisioner Bawaslu RI periode 2017-2022 Fritz Edwar Siregar dan Komisaris Utama PT Cyrus Nusantara Hasan Nasbi.
Acara ini dipandu oleh Pemimpin Redaksi Tribunlampung.co.id Ridwan Hardiansyah dan pembawa acara Tribun Network Paramitha Soemantri.
Triono menjelaskan, politik identitas hampir selalu dimainkan dalam pemilu. Namun demikian, politik identitas tak berpengaruh besar bagi kalangan milenial, termasuk pada Pemilu 2024.
“Kalangan milenial lebih cenderung ke popularitas kandidat,” kata Triono.
Senada, Robi Cahyadi menjelaskan kontestasi pemilu kerap kali memunculkan isu politik identitas.
“Bahkan, akar politik identitas sudah dimulai sejak Pemilu 1955,” ujar Robi.
Akan tetapi, Robi berpendapat bahwa kaum milenial, termasuk salah satunya mahasiswa, tidak terlalu melihat politik identitas dalam memilih.
"Kaum mahasiswa tidak peduli calon itu berasal dari suku apa. Mereka lebih pada apa yang ditawarkan calon kepada mereka," ucapnya.
Merujuk data Badan Pusat Statistika (BPS) pada 2010, Jawa merupakan suku terbesar di Indonesia dengan angka mencapai 40-42 persen.
Fritz Edwar Siregar menyebut, dari 180 juta penduduk Indonesia, 100 juta di antaranya merupakan suku Jawa.
Menurut Fritz, politik identitas masih berpengaruh pada Pemilu 2024, tetapi tidak akan seperti pemilu-pemilu sebelumnya.
"Politik identitas pasti masih digunakan dalam pemilu. Tapi apakah berdampak, ya tergantung daerah," katanya.
Sementara itu, Hasan Nasbi mengungkapkan, secara realitas politik, 60 persen ada di Pulau Jawa.
“Banyak partai politik yang memiliki basis di Jawa, dan itu sejak tahun 1955,” ujarnya.
Terkait politik identitas, Hasan menilai pemilih akan lebih terpengaruh dengan lingkungan atau kelompok mereka.
"Menurut survei, sudah banyak nama-nama non-Jawa yang populer di publik, seperti Erick Thohir," katanya.
Triono berharap partai partai politik membuka diri dengan mengajukan calon-calon dari luar Jawa untuk Pilpres 2024.
"Sehingga, pemimpin kita tidak melulu Jawa sentris," ucapnya.
Terkait calon presiden tanpa partai politik, Robi Cahyadi menyoroti tentang abstainnya calon presiden yang maju secara independen.
"Menurut survei publik, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai sangat minim," ujar Robi.
Diskusi berlanjut ke segmen tanya jawab antara mahasiswa dan narasumber. Pertanyaan pertama dilontarkan Rizki, mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila.
Ia bertanya, "Apa sih yang membuat presiden non Jawa sulit bersaing dalam Pilpres?”
Hal tersebut dijawab oleh Hasan Nasbi. Ia menilai kandidat dari luar Jawa banyak yang tidak berani mencalonkan diri sebagai presiden.
"Sejauh ini, baru dua kali pemilu ya yang muncul calon di luar Jawa, dan ini belum bisa disimpulkan bahwa presiden sulit di luar Jawa. Kita perlu mencoba 20-30 kali pencalonan baru bisa dijadikan sebuah teori," kata Hasan.
Pertanyaan berikutnya datang dari Hendra, mahasiswa FISIP Unila lainnya.
"Di Amerika Serikat, Obama berhasil mendobrak supremasi kulit putih sebagai presiden, Kira-kira bagaimana peluang di Indonesia untuk itu terjadi?" tanyanya.
Pertanyaan tersebut direspons oleh Fritz Edward. Ia memprediksi hal itu mungkin saja terjadi di Indonesia. Asalkan, menurut dia, para pemimpin di Indonesia memiliki keberanian untuk melakukan perubahan.
Pertanyaan selanjutnya dilontarkan oleh Dito, mahasiswa FISIP Unila.
"Strategi seperti apa yang dibutuhkan oleh presiden di luar Jawa untuk bertarung di Pemilu 2024 nanti?" tanya Dito.
Hal itu dijawab oleh Triono. Ia menyebut ada banyak faktor. Namun, pola penggunaan media sosial dan kelompok-kelompok komunitas harus dirawat.
“Jadi, lebih pada pendekatan kepada masyarakat. Faktor media sosial memberi sumbangsih besar dalam pemilu," tutur Triono.
Selanjutnya pertanyaan dari Abethia Cahrani mahasiswa FKIP Unila.
Ia bertanya, "Syarat apa yang dibutuhkan untuk mendobrak tren presiden dari Jawa?"
Robi Cahyadi menjawab, sudah seharusnya partai politik memunculkan kandidat di luar Jawa.
"Analoginya ibarat makanan. Kalau sajiannya hanya itu-itu saja, maka pilihan juga terbatas. Harapannya, semakin banyak kandidat, maka pilihan juga semakin berwarna. Merespons pertanyaan tadi, ya kuncinya ada pada partai politik," jelas Robi.
Pertanyaan datang dari mahasiswa lain bernama Rian Ramadhan.
"Mengingat Indonesia sudah memasuki industri 5.0, yaitu digitalisasi, di mana media sosial sangat berpengaruh, pertanyaannya, bagaimana mengubah persepsi masyarakat terkait politik identitas yang mayoritas presiden berasal dari Jawa?” tanya Rian.
Merespons hal itu, Triono menjelaskan pola pendidikan politik sangat penting agar masyarakat tidak pragmatis.
"Melalui pendidikan politik yang masif dan tidak hanya dilakukan menjelang pemilu," ujarnya.
Segmen terakhir membahas tentang solusi agar pemilu berjalan lancar. Robi Cahyadi menyampaikan, KPU dan Bawaslu sebaiknya lebih mempublikasikan mengenai rekam jejak seluruh kandidat.
"Seluruh kandidat harus dipaparkan perjalanannya. Apakah dia pernah jadi napi atau pernah melakukan hal-hal yang tidak baik, ini disampaikan kepada masyarakat," jelasnya.
Selain itu, Robi menilai partai politik mesti lebih selektif dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden.
"Caranya bagaimana? Partai lebih melakukan pelacakan calon kepala daerah terbaik, lalu direkomendasi menjadi calon presiden. Jangan dimunculkan calon-calon yang hanya memiliki finansial. Tapi betul-betul dicari yang terbaik," jelasnya.