Opini

Mengurai Akar Konflik Berlatarbelakang Pencak Silat di Tulungagung, Gugus Tugas Solusinya?

Konflik antar oknum anggota perguruan pencak silat masih menjadi pekerjaan rumah bagi aparat di Tulungagung. Gugus tugas efektif sebagai solusi?

|
Penulis: David Yohanes | Editor: eben haezer
Shutterstock
Ilustrasi 

Konflik antar oknum anggota perguruan pencak silat masih menjadi pekerjaan rumah yang besar dalam upaya mewujudkan Kamtibmas di Kabupaten Tulungagung tahun 2025.

Hal ini terungkap dalam Rembug Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) yang diinisiasi Kapolres Tulungagung, AKBP Taat Resdi, Jumat (10/1/2025) di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso.

Kapolres menempatkan kekerasan antar pesilat ini menjadi prioritas utama masalah Kamtibmas 2025. 

Selama 2024 ada 37 kasus kekerasan sesama pendekar beda perguruan. Polisi menetapkan 67 tersangka, terdiri dari 57 tersangka dewasa dan tersangka anak-anak.

Angka ini sebenarnya menurun dibanding tahun 2023 yang mencatat 39 kekerasan sesama pesilat, 122 orang jadi tersangka terdiri dari 90 dewasa dan 22 anak-anak. 

Menebar Ketakutan

Selama ini konvoi pesilat menjadi teror tersendiri bagi warga Tulungagung. Setiap kali iring-iringan mereka memenuhi jalan, warga harus mengalah agar tidak menjadi sasaran kekerasan. Risiko bila tidak minggir, kendaraan bisa rusak dihantam aneka benda. 

Dari iring-iringan para pesilat ini kerap lahir konflik kolosal (besar-besaran). Diam-diam massa dari perguruan berbeda melakukan pengadangan lalu menyerang dengan lemparan batu. Massa konvoi kemudian melakukan perlawanan dengan melakukan pengejaran hingga terjadi tawuran dalam skala besar. 

Wilayah yang kerap mendapat sebutan “jalur Gaza” dari masyarakat adalah Kecamatan Bandung. Sudah tak terhitung berapa kali kekerasan antar pesilat terjadi di kawasan ini.

Dua wilayah lainnya adalah Kecamatan Pakel dan Besuki. Saking rawannya wilayah ini, masyarakat menyebut ketiganya dengan akronim PBB (Pakel, Besuki, Bandung). 

Namun kini konflik sudah pada tahap mengkhawatirkan. Bukan lagi pengerahan massa, namun bersifat sporadis dan meluas, bisa terjadi di mana saja. Fenomena ini adalah razia orang lain yang mengenakan kaus identitas pencak silat yang berbeda. 

Mereka bisa berubah menjadi beringas jika mengetahui orang lain mengenakan identitas yang dianggap lawan. Kekerasan kerap terjadi diikuti pelucutan identitas kaus yang dikenakan pihak yang dianggap lawan.

Karena fenomena ini, Polres Tulungagung pernah mengeluarkan larangan penggunaan kaus yang identik dengan perguruan silat untuk menghindari gesekan fisik. 

Namun ternyata larangan itu tidak mempan karena para pesilat punya kebanggaan saat mengenakan kaus identitas perguruan. Sebenarnya pengurus perguruan silat di tingkat kabupaten telah mengidentifikasi sumber konflik, yaitu munculnya komunitas di internal perguruan. Kaus perguruan sering dibuat di dalam komunitas ini, bukan buatan resmi organisasi. 

Mereka bukan resmi organisasi perguruan pencak silat, namun berkembang dengan membawa nama perguruan. Keberadaan komunitas ini yang sering mengabaikan perintah pimpinan kabupaten, karena mereka lebih memandang pimpinan komunitas.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved