Kesenian Jawa Timur

Dari Humor Petani ke Teater Rakyat, Berikut Kisah Panjang Kelahiran Ludruk di Jombang

Kabupaten Jombang rupanya punya keterikatan erat kelahiran ludruk di Jawa Timur, sebuah seni pertunjukan rakyat khas Jatim

|
Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Sri Wahyuni
TribunMataraman.com/Ist Cakdurasim.com
Pergelaran seni ludruk yang dimainkan oleh Grup Ludruk Gita Praja dari Kabupaten Jombang pada Sabtu, 22 Februari 2025 di Pendapa Jayengrana Taman Budaya Jawa Timur. Berakar dari Jombang hingga dikenal seantero Jawa Timur. 

"Keong nyemplung neng blumbang,
tinimbang nyolong aluwung mbarang," ujar  Cak Nas menirukan bacaan pantun tersebut. 

Ungkapan itu mencerminkan pandangan moral masyarakat waktu itu, lebih baik hidup sederhana daripada melakukan hal tercela. Sekitar tahun 1915, Lerok mulai berkembang menuju bentuk pertunjukan yang lebih terstruktur, disanalah lahir Besutan.


Besutan, Cermin Suara Rakyat

Besutan hadir dengan struktur layaknya drama panggung. Tidak lagi hanya berisi lawakan, tetapi juga alur cerita, karakter, dan konflik. Setiap tokoh merepresentasikan bagian dari masyarakat. 

Kata Cak Nas, ada beberapa karakter dalam pertunjukan besutan kala itu. Ia mengingat, ada karakter seperti Besut, seorang rakyat kecil yang jujur dan berani.

Ada Rusmini, perempuan Jawa yang anggun dan setia. Sumo Gambar, orang kaya yang manipulatif. Man Gondo, figur kolonial yang digambarkan bengis dengan riasan putih.

Alur cerita pementasannya adalah konflik utama, biasanya berputar pada cinta segitiga antara Besut, Rusmini, dan Sumo Gambar dibungkus kritik pada ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi.

Namun bagian paling sakral justru muncul sebelum lakon dimulai, sebuah ritual simbolik.

Dalam ritual itu, Besut dituntun oleh Man Gondo. Mata Besut tertutup, mulutnya disumbat susur, tubuhnya dipaksa merangkak. Obor menyala digenggam Man Gondo, seakan menunjukkan siapa yang memegang kuasa.

"Ritual itu menggambarkan rakyat yang terbelenggu, tidak memiliki suara, dan hidup dalam tekanan kolonial," jelas Cak Nas yang juga adik kandung dari Emha Ainun Najib atau Cak Nun ini. 

Ritual ini memuncak saat Besut meraih dan memadamkan obor tersebut. Cahaya redup itu menandakan titik balik kebangkitan dan keberanian rakyat.

Setelahnya, Besut menari gagah di atas gadhogan panggung bambu sederhana dengan cahaya damar sewu menerangi malam.

Kostum pun tidak sembarangan. Besut mengenakan kain putih dan tali lawe sebagai lambang kesucian, serta ikat kepala merah sebagai simbol keberanian.


Dari Plandi Menyebar ke Berbagai Penjuru

Kekuatan Besutan terletak pada kedekatannya dengan kehidupan rakyat. Tak perlu gedung, panggung beton, atau tata cahaya mewah. Pertunjukan bisa digelar di halaman rumah, di tengah sawah, atau lapangan kecil di ujung desa.

Dari tangan-tangan seniman desa, Besutan menjalar ke berbagai penjuru Jombang. "Nama-nama seperti Sunari dari Gongseng Megaluh, Laeman, Pak Tari dari Losari Ploso, hingga Carik Raji dari Kedung Losari menjadi pelaku penting penyebaran kesenian ini," jelasnya. 

Setiap kelompok membawa gaya masing-masing, tetapi tetap menghidupkan ruh kritik sosial yang menjadi ciri khasnya.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved