Berita Terbaru Kabupaten Bojonegoro

Cerita Nenek Samijah Mengenang Korban Pembantaian G30S yang Dibuang di Bengawan Solo Bojonegoro

Sungai Bengawan Solo di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, menjadi saksi bisu pembantaian orang-orang PKI atau yang dituduh sebagai PKI.

Editor: eben haezer
yusab alfa ziqin
Samijah saat menunjukkan Bengawan Solo dekat rumahnya, Selasa (1/10/2024). Kata Samijah, di sungai inilah mayat-mayat korban pembantaian tahun 1965 dibuang. 

TRIBUNMATARAMAN.COM | BOJONEGORO - Sungai Bengawan Solo di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, menjadi saksi bisu pembantaian orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia) atau yang dituding sebagai anggota maupun simpatisannya pada tahun 1965.

Di sungai inilah, jasad-jasad mereka dibuang dan dibiarkan mengambang atau terbawa arus. 

Pemandangan itu diceritakan ulang oleh nenek Samijah, warga kelurahan Ledok Kulon, kecamatan Bojonegoro, Kabupaten Bojonegoro yang tinggal di tepi sungai Bengawan Solo. 

"Saat itu saya masih remaja," ujarnya saat ditemui, Selasa (1/10/2024) siang.

Seingat Samijah, mayat-mayat itu marak terapung tak karuan di Bengawan Solo dekat rumahnya mulai November 1965.

Saat itu kemarau. Debit air Bengawan Solo sedang menyusut. Aliran airnya juga tak kuat. 

"Jadi, mayat-mayat yang mengambang di Bengawan Solo itu terlihat jelas. Bisa dilihat dari dekat," jelasnya.

Mayat-mayat korban pembantaian itu, digambarkannya bak batang pohon pisang yang terapung-apung terbawa arus. 

"Mayat-mayat itu rata-rata laki-laki dan bertelanjang dada. Jarang sekali mayat yang perempuan," terangnya.

Mayat-mayat itu, lanjut perempuan kelahiran 1945 ini, paling banyak muncul saban pagi hari. Jumlahnya tak terhitung. Mayat-mayat terus menerus muncul dari barat atau hulu.

"Tak ada yang berani mengambil lalu menguburkan mayat-mayat itu. Warga sini membiarkan saja," imbuhnya.

Nenek yang kini berjualan kopi di tepi Bengawan Solo Kelurahan Ledok Kulon ini, juga menyebut, kampungnya dicekam kengerian setiap malam. 

"Habis maghrib, orang-orang sini menutup pintu rumah. Kalau ngomong harus berbisik-bisik," tuturnya.

Cukup sering, lanjut Mbah Jah, setiap lepas isya dirinya melihat segerombol orang membawa satu atau dua tetangganya. Pemandangan itu dia lihat dari dalam rumah. Melalui celah-celah anyaman dinding bambu.

"Segerombol orang membawa tetangga-tetangga itu berpakaian hitam, bersarung, ada juga bersorban," imbuhnya.

Halaman
123
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved