TRIBUNMATARAMAN.COM, MALANG - Pemasangan bendera One Piece dinilai bukan kegiatan melanggar hukum maupun HAM, dan negara tidak perlu reaktif.
Pendapat ini disampaikan oleh Dosen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus Ketua Umum Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi (PPHD) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Dr. Muktiono, S.H., M.Phil.
Dia menilai tindakan tersebut bukanlah pelanggaran hukum maupun HAM.
Belakangan ini pemasangan bendera bergambar tengkorak bertopi jerami, yang menjadi ciri khas di One Piece menjadi polemik dan perbincangan hangat masyarakat Indonesia.
Apalagi pemasangan bendera One Piece tersebut tepat di bawah bendera Indonesia, Merah Putih.
Hal ini pun menuai banyak sorotan, termasuk dari sejumlah akademisi.
Menurut Muktiono, pemasangan bendera tersebut merupakan bentuk ekspresi individu atas kecintaan atau kegemaran terhadap suatu hal.
"Tindakan itu saya lihat sebagai bagian dari upaya mencari kebahagiaan (pursuing happiness) yang merupakan hak asasi setiap orang," ujarnya, Rabu (6/8/2025).
Lebih lanjut, Muktiono menjelaskan bahwa ekspresi semacam itu juga bisa dimaknai sebagai sindiran, bentuk protes, atau respons terhadap situasi tertentu.
Ia menekankan bahwa tindakan tersebut sah sejauh tidak mengganggu ketertiban umum, tidak merugikan orang lain, dan tidak melanggar hukum yang berlaku.
Dari sisi regulasi, ia menyebut bahwa pengibaran bendera One Piece tidak melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara.
"Tidak ada aturan yang melarang pengibaran bendera seperti itu, selama tidak mengandung pelecehan terhadap simbol negara," jelasnya.
Baca juga: Viral Video Warga Lakarsantri Surabaya Rekam Bentrokan Belasan Pemuda, Berikut Kronologinya
Muktiono pun mengkritisi sikap negara yang dianggapnya terlalu reaktif dalam menyikapi simbol-simbol budaya populer seperti ini.
Ia mengingatkan agar kriminalisasi terhadap tindakan-tindakan semacam ini tidak dilakukan tanpa dasar yang kuat.
"Kalau tidak ada ancaman nyata, melarang atau mengkriminalisasi hal seperti ini justru membuang energi negara,"
"Fokus kita seharusnya pada persoalan yang lebih esensial seperti korupsi, perubahan iklim, kemiskinan, ketertinggalan teknologi, serta pendidikan," tandasnya.
(Rifky Edgar/TribunMataraman.com)
Editor : Sri Wahyunik