Berita Jember

Dosen Unej Divonis Lakukan Kekerasan Seksual, Kado Manis 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Editor: eben haezer
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aksi aktivis usai persidangan tuntutan terhadap RH, terdakwa kasus pencabulan anak di PN Jember, Kamis (21/10/2021) lalu

Reporter: Sri Wahyunik

TRIBUNMATARAMAN.com | JEMBER - Vonis bersalah dan penjara 6 tahun untuk dosen Unej (Universitas Jember) dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak,  menjadi kado menjelang peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP).

Hal ini dikatakan Ketua Lembaga Bantuan HUkum (LBH) Jentera Jember, Yamini.

16 HAKTP dimulai 25 November hingga 10 Desember. 25 November diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional, sedangkan 10 November diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Selama 16 hari inilah menjadi rangkaian 16 HAKTP.

Baca juga: Dosennya Divonis Bersalah Melakukan Kekerasan Seksual, Begini Tanggapan Unej

Persidangan putusan perkara pencabulan dengan terdakwa RH, Dosen FISIP Unej telah berlangsung, Rabu (24/11/2021) kemarin. Majelis hakim memvonisnya bersalah, dan menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara, dan denda Rp 50 juta atau subsider 4 bulan kurungan.

"Ini menjadi kado menjelang peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap perempuan. Semoga keberpihakan APH (aparat penegak hukum)," ujar Yamini, Kamis (25/11/2021).

Vonis tersebut, katanya, bisa menjadi preseden baik dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang berbentuk pelecehan seksual atau pencabulan.  

Perkara pencabulan yang terjadi pada Nada (nama samaran), yang menjadi penyintas pencabulan dengan pelaku RH, merupakan kasus pertama yang didampingi LBH Jentera, masuk hingga ke persidangan.

"Ini adalah kasus pelecehan seksual pertama yang masuk ke ranah hukum, bahkan sampai persidangan dan vonis, yang kami dampingi. Dari sejumlah pengaduan kasus pelecehan seksual, satu ini saja yang masuk," imbuhnya.

Baca juga: Dosen Unej Pelaku Kekerasan Seksual Divonis 6 Tahun Penjara

Karenanya, vonis 6 tahun dalam perkara tersebut, ujarnya, cukup memberi rasa keadilan bagi penyintas. "Bahkan bisa jadi bagi korban lain yang tidak berani bersuara," tegasnya.

Yamini mengakui, dalam hukum positif Indonesia, cukup sulit membuktikan kasus pelecehan seksual. Namun bukan berarti kasus pelecehan seksual atau pencabulan tidak bisa dibuktikan, sampai akhirnya memberi rasa keadilan untuk korban.

Yamini menyarankan, bagi korban pelecehan seksual untuk berani bersuara, dan segera melapor. "Jangan menunggu lama, segera laporkan, supaya buktinya cukup. Jadi tanda-tanda pelecehan itu masih ada. Silahkan menelpon kami, untuk mencari bantuan hukum," tegas pengacara ini.

Dia mencontohkan, dalam perkara pencabulan dengan pelaku RH, bukti terbilang cukup kuat karena ada bukti petunjuk, juga keterangan korban yang masih anak, keterangan saksi ahli, juga keterangan pelaku.

Yamini menegaskan, keterangan korban anak atau saksi anak dianggap sebuah kebenaran dalam hukum perkara anak.

"Bagi korban kekerasan seksual, termasuk yang berada di lingkungan kampus, ayo berani bersuara. Karena korban harus mendapatkan rasa keadilan. Belajar dari vonis RH ini, juga kami harapkan bisa menjadi pelajaran supaya tidak terjadi kekerasan seksual di kalangan kampus, juga memberikan rasa aman," tegasnya.