TRIBUNMATARAMAN.com | TRENGGALEK – Supriati, warga Kelurahan Sumbergedong, Kecamatan/Kabupaten Trenggalek sempat resah ketika pandemi tiba.
Wanita yang akrab disapa Etik itu awalnya berjualan bakso di salah satu SMP unggulan di Trenggalek. Ia telah menekuni pekerjaan itu sejak 2003.
Pandemi membuat pembelajaran langsung di sekolah terhenti sejak 2020. Alhasil, ia pun tak bisa berjualan selama hampir 2 tahun.
Saat kantin mulai tutup pada 2020, Etik berpikir untuk mencari peluang penghasilan lain. Apalagi saat itu, kepastian kapan pembelajaran tatap muka kembali digelar semakin tidak jelas.
“Dulu kalau sekolah libur seminggu saja, saya sudah pusing. Sekarang ini sampai dua tahun,” kata Etik kepada Tribunmataraman.com, Jumat (15/10/2021).
Baca juga: Bisnis Makaroni Baper Mampukan Eka Wulan Sari Biayai Pendidikan Secara Mandiri hingga S2
Akhirnya, Etik pun memfokuskan diri pada bisnis Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang tengah ia rintis. Ia membuat produk camilan berupa brownies kering.
Produk itu yang ia namai dengan merek Cemokot itu sebenarnya sudah mulai digarap sejak 2018. Tapi saat itu, fokusnya masih terbagi antara berwirausaha dengan berjualan di kantin sekolah.
Saat pandemi – ketika sekolah mulai tutup – Etik bisa berfokus sepenuhnya pada bisnis camilan tersebut.
Etik mengawali fokusnya itu dengan mengutak-utik kemasan camilan yang ia bikin.
“Saya gonta-ganti kemasan itu sampai lima kali. Baru yang terakhir ini yang cocok bagi saya,” cerita dia.
Tak disangka, kemasan baru menghasilkan berkah baru. Penjualan brownies kering etik melejit. Produk itu menjadi salah satu yang paling laris di Galeri Gemilang, pusat produk UMKM milik Pemkab Trenggalek.
Cita rasa camilan yang Etik bikin tak usah diragukan. Sebelum membuat brownies kering, ia sudah berpengalaman membuat kue-kue khas lebaran.
“Saya membuat camilan brownies kering karena banyak orang yang suka brownies. Tapi kalau brownies biasa, itu kan tidak tahan lama. Semantara banyak orang butuh camilan yang lebih awet,” sambung dia.
Dari pengalaman itu, ia mulai paham bahwa laris-tidaknya produk tak sekadar dari proses produksi. Juga tak cuma soal rasa.
Ada soal kemasan dan pemasaran yang tak bisa dinomorduakan. Lewat kemasan yang ciamik, produk Etik yang isinya sama dengan sebelumnya bisa jadi makin laris. Dalam sebulan, Etik rata-rata menjual antara 100-200 kemasan.
Ia juga mulai mengembangkan varian produk dari satu menjadi tiga.
“Saya bikin varian kelor dan red velvet. Ketika saya tunjukkan ke pelanggan-pelanggan, responsnya bagus,” terang Etik.
Soal pemasaran, Etik saat ini masih bekerja secara konvensional. Mayoritas produknya dijual secara offline. Mengandalkan reseller yang berada di banyak daerah, mulai dari Kediri, Blitar, Malang, Surabaya, dan daerah-daerah lain.
Ke depan, Etik ingin juga mengembangkan pasarnya di dunia maya. Kesibukan dalam produksi membuat Etik kini masih kesulitan merambah pasar daring (dalam jaringan) itu.
“Rencananya saya ingin lebih luas lagi untuk pemasarannya. Untuk pasar online, mungkin saya bisa pakai bantuan admin untuk memasarkan. Jika hasilnya bagus dan produksi meningkat, bisa mulai menambah tenaga lewat para tetangga sekitar,” kata Etik, yang ketika proses proses produksinya masih dibantu keluarga terdekat.
Dari produk UMKM ini, Etik mengaku meraup berkah lumayan ketika pandemi memukul banyak sektor ekonomi. Bahkan, penghasilannya dari berwirausaha melebihi hasil yang ia dapat ketika berdagang di kantin sekolah.
“Hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga masih ada sisa untuk menabung,” kata Etik. (fla)