Ramadan 2025

Menahan dari yang Haram

Ramadan harus dijadikan momentum untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan,

Editor: Rendy Nicko
Dok Pribadi
Moch Khoirul Anwar, Wakil Direktur LPPOM MUI Jawa Timur 

 

TRIBUNMATARAMAN.COM - Ramadan adalah bulan penuh berkah yang di dalamnya  penuh dengan anjuran untuk meningkatkan amal kebaikan dan seruan untuk meninggalkan keburukan. Ramadan adalah bulan latihan bagi umat muslim dalam rangka peningkatan keimanan dan ketaqwaan, karena tujuan dari puasa Ramadlan adalah agar umat manusia semakin bertaqwa, sebagaimana Firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 183 : ” Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”.

Ibadah puasa merupakan ibadah yang sangat mulia dan berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya dikarenakan puasa adalah ibadah satu-satunya yang bebas dari intervensi siapapun dari makhluk Allah di muka bumi. Ibadah puasa juga sangat rahasia yang hanya diketahui oleh si pelaku dan Allah saja. Berbeda dengan ibadah lainnya, contoh sholat, seseorang bisa menunjukkan kalau dia sholat dengan cara mengerjakan sholat di hadapan orang lain. Zakat juga begitu, bisa menunjukkan kalau dia sudah bayar zakat dengan cara membayar zakat di hadapan orang lain. Begitu juga dengan ibadah-ibadah lainnya. Sedangkan puasa, seseorang mungkin bisa mengatakan ke orang lain kalau dia puasa, tetapi ketika dia masuk kamar atau sendirian, dia bisa minum sepuasnya tanpa ada yang tahu kecuali dirinya dan Allah SWT. Sehingga orang yang mampu berpuasa adalah orang yang mempunyai keyakinan yang kuat bahwa Allah selalu bersama dengan dia.

Oleh karena itu, tidak salah kalau pahala orang berpuasa akan diperoleh langsung oleh  pelaku tanpa dijelaskan berapa kali lipat ganjaran pahalanya, akan tetapi cukup ditegaskan oleh Allah dalam hadits Qudsi : “Kullu hasanatin bi’asyri amtsaliha ila sab’i mi-ati dli’fin illas shiyam, fa huwa lii wa Ana ajzi bihi” (Setiap kebaikan akan diberi pahala sepuluh kali lipat samapi tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya). (HR. Bukhari). Dalam hadits yang lain dengan Perawi yang sama, Rasulullah bersabda : “Man shama ramadlana imanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbih” (Barangsiapa yang berpuasa di bulan ramadlan dengan penuh keimanan dan perhitungan (mengharap pahala Allah), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya di masa lalu). (HR. Bukhari). 

Secara Bahasa, Puasa berasal dari Bahasa Arab “as-shaum” yang diartikan muthlaqul imsak (menahan sepenuhnya). Dan menurut syariat, puasa adalah menahan diri dari rasa lapar dan haus dan segala yang membatalkannya dari terbitnya fajar atau shubuh sampai tenggelamnya matahari atau maghrib dengan niat yang khusus. Disebutkan pula bahwa puasa itu adalah perisai, maksudnya adalah perisai dari godaan hawa nafsu yang menggiring kepada batalnya puasa seperti makan, minum dan syahwat. Dalam menjalankan ibadah puasa, seorang muslim tidak boleh melakukan tindakan yang membatalkan puasa mulai dari waktu subuh sampai waktu maghrib, termasuk tidak boleh mengkonsumsi makanan atau minuman, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa.

Orang yang berpuasa tidak boleh mengkonsumsi makanan atau minuman walaupun makanan atau minuman itu halal.

Di sinilah letak pembelajaran yang luar biasa bagi umat Islam. Kalau kita mampu menahan makanan atau minuman walaupun halal, maka mestinya kita lebih mampu menahan dari makanan atau minuman yang syubhat atau bahkan yang haram, karena halal dan haram adalah persoalan yang prinsip dalam ajaran Islam. Di dalam ayat al-Quran dan hadits sangat tegas memerintahkan manusia untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan menghindari yang haram. Secara sederhana, yang dimaksudkan makanan halal adalah makanan baik yang dibolehkan mengkonsumsinya menurut ajaran Islam, yaitu sesuai dengan tuntunan dalam Al-Qur’an dan hadits. Sebaliknya, makanan haram adalah makanan jelek/membahayakan yang dilarang mengkonsumsinya menurut ajaran Islam.

Imam Ibnu Katsir mendefinisikan halal adalah sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi badan dan agama, sedangkan sesuatu yang diharamkan Allah adalah sesuatu yang jelek dan berbahaya bagi badan dan agama. 

Perintah agar manusia menghindari yang haram pada hakekatnya mempunyai pengaruh positif pada kehidupan manusia sendiri. Makanan yang dikonsumsi manusia mengandung zat-zat yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup, baik terkait dengan pertumbuhan fisik, perilaku, maupun kecerdasan akal manusia. Dalam tubuh manusia tersusun atas organ-organ, masing-masing organ tersusun atas jaringan-jaringan yang tiap jaringan tersusun atas sel-sel yang di dalamnya ada bagian yang bernama gen yang membawa sifat-sifat manusia. Di samping itu, aktifitas tubuh manusia dikoordinasikan oleh fungsi syaraf dan fungsi hormon. Makanan atau minuman yang dikonsumsi manusia di antaranya berfungsi sebagai penyusun dan pemelihara fungsi organ, jaringan dan sel, termasuk juga fungsi syaraf dan hormon. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa makanan atau minuman yang dikonsumsi manusia akan sangat mempengaruhi sifat, perilaku dan pemikirannya.

Allah SWT berfirman dalam al-Quran surat al-Mu’minun ayat 51 yang artinya "Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih”. Dalam ayat ini, walaupun yang dipanggil adalah Rasul tapi menurut beberapa tafsir, termasuk Tafsir al-Maraghi, yang dipanggil adalah termasuk semua orang Islam. Ayat tersebut menunjukkan adanya hubungan kausalitas antara makanan dengan amal/prilaku seseorang. Apabila makanan atau minumannya baik/halal maka diapun akan mudah melakukan amal sholih, tetapi sebaliknya apabila makanan atau minumannya jelek/haram maka sulit baginya melakukan amal sholih. Hal inilah yang seharusnya bisa dijadikan sebagai bahan instrospeksi bagi seluruh umat Islam. Sehingga fenomena kenakalan remaja atau kejahatan-kejahatan lainnya, termasuk korupsi, bisa jadi disebabkan karena makanan, minuman atau rejeki mereka masih tercampur dengan yang haram.

Di era sekarang memang tidak gampang menghindarkan diri dari sesuatu yang haram. Apalagi perkembangan jaman meniscayakan teknologi terus mengalami perkembangan secara pesat dan telah merubah seluruh bidang ke arah modern, tidak terkecuali pada bidang pangan dimana hingga saat ini telah banyak teknologi yang digunakan selama proses produksi makanan, minuman maupun obat-obatan. Sebagai ilustrasi, kalau jaman dulu seseorang membuat gethuk (makanan ringan) yang berasal dari pohong atau singkong, maka rasanya hanya original rasa singkong, kalaupun ada rasa lain biasanya antara manis dan gurih. Akan tetapi sekarang gethuk yang berasal dari singkong bisa mempunyai rasa yang bermacam-macam, bahkan rasa singkongnya justru bisa hilang. Hal itu dalam industri pangan biasa ditambah dengan bahan tambahan bernama Flavour atau perisa / perasa yang di antara bahan bakunya adalah asam lemak. Di sinilah letak kekritisannya, karena asam lemak bisa dibuat dari lemak nabati atau lemak hewani. Kalau dari lemak hewani, maka perlu dipertanyakan jenis binatangnya binatang halal atau binatang haram. Kalau dari jenis binatang halal, perlu dipertanyakan juga cara penyembelihannya bagaimana, apakah sesuai dengan syariat Islam atau tidak.

Contoh ilustrasi lainnya, kalau jaman dulu seorang kyai ditanya apakah air minum dalam kemasan (AMDK) hukumnya halal atau haram, maka dengan tegas kyai dulu akan menjawab halal, karena bahan baku utamanya adalah air sumber yang dalam ranah fiqh biasa disebut maa’ul-aini dan masuk katagori thohirun wa muthohhirun (air suci dan mensucikan). Akan tetapi, proses pembuatan air minum dalam kemasan di era sekarang tidak serta merta air sumber langsung dikemas, tetapi melalui beberapa proses, di antaranya filterisasi yang dalam industri AMDK biasa menggunakan karbon aktif. Di sinilah letak kekritisannya, karena karbon aktif bisa dibuat dari kayu biasa, tempurung kelapa, batu bara, hingga tulang binatang. Kalau dari tulang binatang, maka perlu dipertanyakan dari binatang apa dan cara penyembelihannya bagaimana.

Berdasarkan fenomena tersebut, sertifikasi halal merupakan komponen penting yang perlu diperhatikan oleh seluruh pelaku usaha dan konsumen, sebab produk yang telah memiliki sertifikat halal terdapat jaminan bahwa produk tersebut aman dikonsumsi, memiliki kualitas yang baik, serta jaminan halal bahan yang dipakai, proses produksi serta fasilitas yang digunakan. Sertifikasi halal adalah suatu etika dalam bisnis yang sudah seharusnya dilakukan oleh pelaku usaha untuk memberikan jaminan bagi konsumen mengenai kehalalan produknya. Kecenderungan masyarakat untuk memilih produk dengan mempertimbangkan kehalalan produk menjadi salah satu faktor penting yang mendorong pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal terhadap produk yang diproduksinya.

Di sisi lain, umat Islam harus menjadi konsumen cerdas yang ketika belanja produk pangan tidak hanya mempertimbangkan harga dan kualitas produk dari sisi kesehatan saja, tetapi perlu mempertimbangkan kualitas produk dalam hal kehalalannya. Konsumen punya hak untuk mempertimbangkan itu karena kualitas kehalalan produk adalah bagian dari kepuasan konsumen yang menjadi komponen utama dalam pemasaran produk yang dilakukan oleh Perusahaan. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan seseorang setelah mendapatkan hasil yang dia rasakan dibandingkan dengan harapannya, dimana jika hasilnya jelek konsumen akan merasa tidak puas. Artinya, konsumen akan membentuk persepsi yang lebih menyenangkan tentang sebuah produk atau jasa yang sudah dinilai positif oleh konsumen.

Satu hal yang harus difahami oleh semua umat Islam, bahwa pada dasarnya sesuatu yang diharamkan oleh Allah jumlahnya jauh lebih sedikit dari pada yang dihalalkan. Sehingga di dalam kaidah hukum Islam disebutkan : “al-ashlu fil asyya’ al-ibahah hatta yadullad dalil ‘ala tahrimiha” (hukum asal segala sesuatu adalah mubah / boleh, sampai ada dalil yang mengharamkan). Maksudnya, jika sesuatu tidak ada penjelasannya yang tegas dalam nash Syariat tentang halal-haramnya, maka ia halal hukumnya. Kaidah ini di antaranya berdasarkan  Firman Allah dalam Surat Al-Jatsiyah ayat 13 yang artinya “Dan Dia telah menundukkan untuk kalian semua yang ada di langit dan di bumi, (sebagai rahmat) dari-Nya”. Diperkuat dengan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Ath-Thabarani, dan Al-Baihaqi, yang artinya “Apa yang Allah halalkan maka ia halal, dan apa yang Allah haramkan maka ia haram, sedangkan apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan, maka terimalah oleh kalian pemaafan dari Allah tersebut, karena Allah tidak pernah melupakan sesuatu”.

Oleh karena itu, Ramadan harus dijadikan momentum untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, salah satunya dengan menahan dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya dan hanya mengkonsumsi produk yang halal. Ketika puasa, kita mampu mencegah  dan menahan agar makanan atau minuman tidak masuk ke dalam perut kita, walaupun makanan atau minuman itu halal. Hal ini merupakan latihan bagi kita agar kita lebih mampu mencegah  dan menahan makanan atau minuman yang haram masuk ke dalam perut kita. (*)

Moch Khoirul Anwar

Wakil Direktur LPPOM MUI Jawa Timur dan Wakil Dekan I FEB Unesa

Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Tribun Mataraman

(TribunMataraman.com)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved