Pesona Gandrung Banyuwangi

Pesona Gandrung Banyuwangi, Mulai Dari Kesenian Mistis hingga Pertunjukan Menawan

Tari Gandrung Banyuwangi menjadi salah satu kesenian yang terus eksis hingga saat ini. Inilah riwayat lengkapnya

Penulis: Aflahul Abidin | Editor: eben haezer
ist
Pertunjukan Gandrung Terop di kabupaten Banyuwangi 

TRIBUNMATARAMAN.COM | BANYUWANGI - Tari Gandrung Banyuwangi menjadi salah satu kesenian yang terus eksis hingga saat ini.

Sepanjang sejarahnya, gandrung bertransformasi dari kesenian yang bernilai mistis dan simbol perjuangan menjadi pertunjukan yang megah dan menawan.

Masyarakat suku Osing – suku asli Banyuwangi – mengenal sejarah gandrung sebagai tarian yang dibawakan oleh seorang pria.

Cerita ini juga bisa ditilik dari artikel berjudul “Gandroeng van Banjoewangie” yang ditulis John Scholte pada 1927.

Gandrung laki-laki itu disebut sebagai Gandrung Masran. Konon, Marsan merupakan nama penari gandrung yang menampilkan pertunjukan tersebut dari kampung ke kampung. Tak sekadar untuk mencari uang, Marsan juga berkeliling sebagai upaya untuk menjadi mata-mata, di masa penjajahan Belanda.

“Literatur yang ada memang menyebutkan bahwa gandrung awalnya dimainkan oleh laki-laki yang berkeliling dari kampung ke kampung dengan tabuhan yang sederhana,” kata Budayawan Banyuwangi, Aekanu Hariyono, Rabu (23/10/2024).

Di era Gandrung Marsan, berdasarkan cerita tutur yang dikenal oleh warga suku Osing secara turun-temurun, gandrung punya peran besar dalam upaya melawan kompeni di wilayah Bumi Blambangan.

Gandrung Marsan eksis di masa usai perang Puputan Bayu (1771-1773) sebagai tokoh yang mengonsolidasikan rakyat Kerajaan Blambangan yang terdesak pada perang tersebut.

Peralihan dari gandrung laki-laki ke gandrung perempuan diketahui terjadi pada sekitar 1890-an. Warga suku Osing mengenalnya sebagai Gandrung Semi. Sayangnya, menurut Aekanu, tak terlacak secara pasti apakah struktur tari Gandrung Semi saat itu serupa dengan langgam yang dipakai saat ini.

“Gandrung Semi juga dikenal bisa mengobati orang. Mungkin kalau sekarang, seperti herbalis. Gandrung dikenal dengan suara dan staminanya yang bagus. Itu tidak bisa lepas dari asupan herbal dan spiritualnya,” katanya.

Aekanu menyebut, kesenian gandrung tak bisa dilepaskan dari seblang, jenis kesenian lain yang juga popular di Banyuwangi. Seblang lebih lekat dengan ritual tolak bala yang membawa penarinya dalam keadaan trans. Dalam pertunjukan gandrung terop, pentas gandrung yang digelar semalam suntuk, terdapat satu pakem di akhir pertunjukan yang disebut sebagai seblang subuh.

“Selain itu, strtuktur gerak tari gandrung hampir sama dengan seblang. Intinya gerak tari untuk doa dan ritual. Gendingnya juga hampir sama. Hanya saja gandrung lebih melankolis. Sementara di seblang, iramanya bolak-balik (looping),” tutur dia.

Saat ini, tari gandrung yang masih eksis di Banyuwangi adalah gandrung terop dan teri gandrung yang biasa ditampilkan dalam pertunjukan-pertunjukan seperti Festival Gandrung Sewu.

Gandrung terop, menurut Ketua Dewan Kesenian Blambangan Hasan Basri dalam artikelnya berjudul “Gandrung dan Identitas Daerah”, tak banyak berbeda dengan pertunjukan tayub, lengger, gambyong, teledak, dan sejenisnya.

“Namun bagi para tokoh di Banyuwangi, gandrung tidak sekadar kesenian profan, sekadar bersenang-senang menghaibiskan malam. Tapi sebuah kesenian yang sarat dengan nilai histori dan kepahlawanan,” tulis Hasan.

Halaman
12
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved