Pilkada Serentak 2024

Bivitri Susanti Sebut Pilkada Serentak 2024 Masih Akan Diwarnai Nepotisme dan Politk Uang

 Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara menilai, praktik nepotisme dan politik uang masih akan mewarnai pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. 

Penulis: Didik Mashudi | Editor: eben haezer
didik mashudi
Bivitri Susanti dan Taufiq Dwi Kusuma menjadi pembicara Seminar Hukum Nasional dengan tema Pancasila dan Pilkada di Kampus IAIN Kediri, Sabtu (1/6/2024). 

TRIBUNMATARAMAN.COM - Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara menilai, praktik nepotisme dan politik uang masih akan mewarnai pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. 

"Pilkada dengan segala prakteknya mungkin peraturannya cukup baik. Tapi prakteknya seakan-akan lepas dari nilai -nilai Pancasila. Tidak ada keadilan dan persoalan nepotisme," tandas Bivitri Susanti, pakar hukum usai menjadi pembicara Seminar Hukum dengan tema Pancasila dan Pilkada 2024 di Kampus IAIN Kediri, Sabtu (1/6/2024). 

Bivitri Susanti menjelaskan, pelaksanaan Pemilu 2024 adalah pemilu paling brutal.

"Mulai dari politik uang dan nepotisme paling brutal," tambahnya.

Sehingga pelaksanaan Pilkada tahun ini diprediksi bakal sama saja dan mungkin lebih parah dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilu 2024.

Karena seakan-akan telah ada legitimasi tambahan kalau nepotisme itu tidak ada apa -apa karena di tingkat nasional juga dilakukan.

"Saya menduga akan sangat parah sekali. Saya sudah banyak diskusi dengan politisi di Jakarta, cukup banyak partai yang enggan bertarung di Pilkada," jelasnya.

Fenomena tersebut sangat menyedihkan karena dampaknya kompetisi menjadi tidak terlalu fair dan mempersempit kompetisinya.

Sehingga pilihan untuk warga semakin sedikit dan kompetisinya tidak adil, akibatnya warga akan mendapatkan pemimpin yang medioker atau tidak berkualitas. Akibatnya kepada warga pelayanan publik tidak sesuai dengan harapan.

Bivitri Susanti juga mengungkapkan, mendapatkan bocoran adanya fenomena "pembelian rekomendasi" dari partai politik oleh calon yang maju Pilkada.

"Teman -teman politisi menyampaikan kalau kampanye Pilkada bisa habis Rp 10 miliar. Mendingan kita bisa beli partai dengan Rp 8 miliar," ungkapnya.

Fenomena tersebut sangat menyedihkan dan diprediksi bakal terjadi pada pelaksanaan Pilkada serentak. "Karena serentak jangan -jangan partai akan jualan aspek itu," jelasnya.

Kondisi tersebut perlu didiskusikan kepada warga jika ada indikasi tersebut bisa diramaikan atau dicegah. Namun perlu membuka mata kesadaran banyak orang untuk membuat narasi tandingan.

Dalam kerangka Pancasila menjadi sangat penting, karena Pilkada serentak tahun ini atau Pilkada sebelumnya banyak pelanggaran dan kecurangan atas nama hukum. "Kita harus berefleksi dalam berpolitik ada nilai -nilai atau tidak," jelasnya.

Sementara Taufiq Dwi Kusuma, pengamat politik dan hukum pada forum yang sama menyampaikan Pilkada di Kabupaten Kediri diwarnai jejak dinasti yang telah berkuasa selama 20 tahun. 

Selain itu juga pernah diwarnai Pilkada dengan hanya satu pilihan pasangan calon yang bertarung atau bumbung kosong.

"Diharapkan mahasiswa menyuarakan kepada masyarakat mempunyai opsi untuk pilihan masa depan Kediri. Kalau pilihan hanya satu itu bukan pilihan," ungkapnya.

(didik mashudi/tribunmataraman.com)

editor: eben haezer 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved