Ajudan Kadiv Propam Tewas Ditembak
Benarkah Brigpol Yosua Lecehkan Istri Kadiv Propam? Bukankah Peluang Lebih Banyak di Luar Rumah
"Pada dasarnya kejahatan itu pasti terjadi karena peluang. Bukankah peluangnya lebih banyak di luar rumah daripada di rumah dinas?" terang Bambang.
Penulis: Anas Miftakhudin | Editor: Anas Miftakhudin
TRIBUNMATARAMAN.com - Motif pelecehan seksual terhadap istri Kadiv Propam Irjen Pol Fredy Sambo yang melatarbelakangi tewasnga Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat masih menjadi pertanyaan.
Apalagi tindakan tak senonoh tersebut dilakukan di kamar pribadi rumah dinas Irjen Fredy Sambo di kawasan Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyatakan perbuatan itu dinilai tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang hanya berpangkat Brigadir kepada istri jenderal bintang dua.
Apalagi berani melecehkan istri Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo.
"Sangat aneh, logikanya Kadiv Propam itu pimpinannya dan secara level sangat jauh Brigadir dengan jenderal," kata Bambang Rukminto saat dikonfirmasi, Selasa (12/7/2022).
Ia menuturkan, Brigadir Yosua, sebelumnya disebut Brigadir J, telah bertugas mengawal keluarga Irjen Ferdy Sambo sejak dua tahun terakhir.
Dia bilang kedekatan antara Brigadir Yosua dengan pihak keluarga Sambo sudah terjalin.
"Mengapa pelecehan itu baru terjadi dan berada di rumah dinas Kadiv Propam? Pada dasarnya kejahatan itu pasti terjadi karena peluang. Bukankah peluangnya lebih banyak di luar rumah daripada di rumah dinas?" terang Bambang.
Bambang menyatakan, tidak sembarang orang bisa dekat dengan keluarga pejabat Polri.
Karena itu, pelecehan terhadap sang istri dinilai sangat janggal.
"Menjadi sangat aneh bila tiba-tiba pelaku menjadi berubah, berani melecehkan istri pimpinan di rumah dinas pimpinan. Tentu saja ada anggota polisi lain yang berjaga atau orang-orang lain di kediaman," jelasnya.
Sementara itu, desakan Indonesia Police Watch (IPW) kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menonaktifkan Irjen Pol Ferdy Sambo belum terealisasi.
IPW dijelaskan Sugeng, pimpinan tertinggi Polri harus menonaktifkan Irjen Ferdy Sambo dari jabatan selaku Kadiv Propam.
"Irjen Ferdy Sambo dianggap sebagai saksi kunci atas peristiwa yang menewaskan ajudannya itu. Hal tersebut, agar diperoleh kejelasan motif dari pelaku yang membunuh sesama anggota Polri," terangnya.
Alasan kedua, kata Sugeng, Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat statusnya belum jelas.
Apakah korban atau pihak yang menimbulkan bahaya sehingga harus ditembak.
"Alasan ketiga, locus delicti diduga terjadi di rumah Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Karena itu agar tidak terjadi distorsi penyelidikan, maka harus dilakukan oleh Tim Pencari Fakta yang dibentuk atas perintah Kapolri bukan oleh Propam," jelasnya.
Dibentuknya tim pencari fakta, pengungkapan kasus penembakan dengan korban sesama anggota polri dan terjadi di rumah petinggi Polri menjadi terang benderang.

Kabar yang berkembang, desakan agar Irjen Pol Ferdy Sambo untuk mundur dari jabatannya makin menguat.
Jika Ferdy Sambo masih menjabat sebagai Kadiv Propam dikhawatirkan timbul konflik kepentingan jika Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) yang menangani kasus tersebut.
Dikhawatirkan pula, kasus tersebut tidak objektif jika Sambo masih menjabat.
Apalagi kasus tersebut sudah ditutup-tutupi selama tiga hari. Kejadian Jumat (8/7), namun baru diketahui publik, Senin (11/7).
Begitu berita muncul ke permukaan, pihak kepolisian yang mengungkap jika persoalan ini dilatari pelecehan terhadap istri jenderal hingga terjadi baku tembak antarajudan.
Terlebih pihak keluarga. Karena pihak keluarga sendiri mencium kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada kasus ini.
Terutama luka memar, luka sayat dan tembakan di tubuh korban.
Menurut petugas yang tak mau disebut namanya memberikan logika sederhana.
Bintara apa berani melecehkan istri jenderal bintang dua.
"Jangankan berbuat kurang ajar, bersikap tidak sopan saja tidak berani,’’ terangnya.
Informasinya, laporan yang masuk ke Polres Jakarta Selatan, Brigpol Nopryansyah “memasuki kamar, dan kemudian memegang-megang paha istri Kadiv Propam.”
Olah TKP dan keterangan dari sejumlah pihak, kronologi yang terjadi adalah Brigpol Nopryansyah ketahuan berada di dalam kamar bersama istri Kadiv Propam.
Di situlah kemudian urusan menjadi panjang. Brigpol Nopryansyah Yosua kabarnya langsung diseret, dan dihajar habis-habisan.
Itu yang membuat banyak luka sayatan dan trauma benda tumpul di jasad korban Nopryansyah Yosua.
Hingga korban mengalami luka tembak. Siapa yang menembak? Apa benar Bharada E ?
Polisi masih melakukan serangakaian penyelidikan untuk menguaknya.
Sementara itu, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menyampaikan bahwa Brigpol Yosua ditembak mati rekannya sendiri Bharada E karena diduga melakukan pelecehan dan menodongkan pistol kepada istri Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo di dekat kamar.
"Yang jelas gininya, itu benar melakukan pelecehan dan menodongkan senjata dengan pistol ke kepala istri Kadiv Propam itu benar," ujar Ramadhan saat dikonfirmasi, Senin (11/7/2022).
Keluarga Cium Kejanggalan
Tewasnya Brigadir Yosua masih menyisakan luka yang mendalam bagi keluarga korban.
Samuel Hutabarat, ayah Brigadir Yosua, mengatakan ada sejumlah kejanggalan dalam kematian anaknya.
Menurutnya, tim dari Mabes Polri menyampaikan dalam insiden tersebut Brigadir Yosua terlebih dahulu mengeluarkan senjata tajam dan menembak secara membabi buta ke arah ajudan Irjen Ferdy Sambo yang berada di rumah tersebut.
Namun, kata dia, hingga saat ini pihak kepolisian tidak menyebut pasti siapa yang terlibat baku tembak dengan Brigadir Yosua .
Bahkan, ia juga merasa janggal dan bertanya terkait kondisi orang yang terlibat baku tembak dengan Brigadir Yosua tersebut.
"Kalau anak saya yang menembak secara membabi buta, terus kondisi yang ditembak gimana, katanya lagi diperiksa di sana. Nah, logikanya kalau jarak 3 meter tidak mungkin tidak kena kalau terjadi baku tembak," kata Samuel, saat diwawancarai Tribun Jambi di kediamannya di Sungai Bahar, Senin (11/7/2022).
Samuel juga meminta pihak kepolisian untuk lebih terbuka dan memperlihatkan CCTV di lokasi kejadian, jika memang Brigadir Yosua terlebih dahulu melakukan penembakan.
Menurutnya, rumah perwira tinggi seharusnya memiliki CCTV dan pengawasan ketat.
"Itu kan rumah perwira tinggi, ya tolong diperlihatkan CCTVnya," ujarnya.

Menurutnya, kejanggalan lainnya beberapa jam sebelum kejadian, Brigadir Yosua dan keluarganya masih intens berkomunikasi.
Saat itu, orang tua korban bersama dengan adiknya sedang pulang ke kampung halaman, Balige, Sumatera Utara untuk ziarah.
Brigadir Yosua selalu aktif memberi komentar setiap foto yang dia lihat dipost oleh adiknya.
Brigadir Yosua seyogyanya ingin ikut pulang ke kampung halaman namun ia bertugas.
Saat itu, Brigadir Yosua sedang mendampingi keluarga perwira tinggi Polri tersebut ke Magelang.
Kemudian berkomunikasi dengan sang ibu ia akan kembali ke Jakarta.
"Waktu itu masih aktif chatingan, setiap foto-foto selalu dikomentari. Dia bilang enak ya, katanya sama adiknya," jelas Samuel.
Mereka memperkirakan perjalanan Magelang menunu ke Jakarta sekira 7 jam.
Kemudian, mereka menghubungi Brigadir Yosua untuk memastikan apakah sudah tiba di Jakarta.
Namun saat itu Brigadir Yosua tidak bisa dihubungi dan semua kontak di keluarganya telah diblokir.
"Semua di blokir, kakaknya dan yang lainnya di blokir," katanya.
Tidak berselang lama, mereka mendapat kabar Brigadir Yosua telah meninggal dunia.
Mirisnya, informasi tersebut tidak mereka terima langsung dari kepolisian melainkan dari adik kandung korban yang juga bertugas di Mabes Polri.
Tidak hanya itu, ia juga mengaku tidak dimintai persetujuan terkait proses autopsi yang dilakukan terhadap anaknya.
Ia mendapati Brigadir Yosua sudah dalam kondisi lebam di sekujur tubuh dan luka tembak di dada, tangan, leher dan bekas jahitan hasil autopsi.
"Tidak meminta persetujuan keluarga atas autopsi yang dilakukan," katanya.
Kejanggalan masih berlanjut, saat jenazah Brigadir Yosua tiba. Pihak keluarga sempat tidak diizinkan untuk melihat atau membuka pakaian korban.
Kemudian, mereka juga melarang pihak keluarga untuk mendokumentasikan kondisi korban saat pertama kali tiba di rumah duka.
"Awalnya kita dilarang, tapi mamaknya maksa mau lihat dan pas dilihat saya langsung teriak lihat kondisi anak saya badannya lebam, mata kayak ditusuk dan ada luka tembak," sebutnya.
Samuel merasa terpukul dengan kondisi anaknya tersebut.
Ia bilang, jika memang ditemukan kesalahan terhadap anaknya, tidak seharusnya diperlakukan dengan hal tersebut.
"Misalnyapun anak saya salah, ya jangan disiksa begitu," jelasnya. (Tribunnews/Tribun Jambi)