TRIBUNMATARAMAN.COM | TULUNGAGUNG - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Tulungagung, Pungki Dwi Puspito, meminta para Aparatur Sipil Negara (ASN) menjaga netralitas mesti belum ada calon yang ditetapkan.
ASN yang kedapatan memberikan dukungan bakal calon tertentu, tetap bisa mendapatkan sanksi dari Bupati.
Hal ini disampaikan Pungki usai sosialisasi netralitas anggota KORPRI dalam Pilkada 2024 , Selasa (20/8/2024) di Kantor Pemkab Tulungagung.
“Sebelum ada penetapan pasangan calon bupati dan wakil bupati, Bawaslu memang belum bisa menindak. Namun Bupati bisa,” jelas Pungki.
Ia mencontohkan, saat ini ada satu pasangan calon yang sudah mendapatkan rekomendasi partai dan bisa mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), yaitu Maryoto Birowo dan Didik Girnoto Yekti.
Jika saat ini ada ASN yang berfoto bersama atau mempromosikan pasangan ini, Bawaslu belum bisa menindak.
Namun berdasar Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Netralitas ASN, bupati bisa menjatuhkan sanksi etik.
SKB ini ditandatangani oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Ketua Bawaslu RI.
Norma yang digunakan untuk menilai para ASN tetap mengacu pada Undang-undang ASN.
“Dalam SKB itu dijelaskan soal pelanggaran etik ringan, rendah dan tinggi. Bupati bisa menjatuhkan sanksi kepada ASN yang dinilai melanggar netralitas,” papar Pungki.
Hal yang sama juga berlaku pada pegawai pemerintah dengan status bukan ASN.
Pungki menyebut, mereka diatur dengan Surat Edaran Menpan RB Nomor 1 tahun 2023, Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan.
Pelanggaran netralitas pegawai pemerintah non-ASN akan ditindak oleh pejabat pembuat komitmen, dalam hal ini bupati.
“Aturannya sama dengan netralitas ASN. Tapi eksekusinya bukan pada KASN, melainkan pada bupati selaku pejabat pembuat komitmen,” tegasnya.
Perilaku ASN yang diawasi antara lain gestur dukungan, foto, dan perilaku di media sosial.
Pengawasan dilakukan Bawaslu bersama Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM), serta Inspektorat.
Pungki mengungkapkan, pada Pilkada tahun 2018 pelanggaran kode etik tertinggi ada di media sosial.
“Saat itu ada 10 yang kena pelanggaran kode etik. Salah satunya seorang kepala desa,” katanya.
Karena itu para ASN dilarang memberikan imbauan, mengarahkan dukungan, dan mengajak untuk mendukung salah satu calon.
Mereka juga dilarang untuk like, share, subscribe, share foto dan foto bersama calon tertentu.
Netralitas ASN ini juga bisa dikenakan hukuman pidana menurut Pasal 71 Undang-undang nomor 6 tahun 2020.
Jerat pidana ini juga ada ASN yang keputusan atau kebijakannya menguntungkan salah satu calon.
Pelanggaran ini termasuk mutasi jabatan yang dilakukan tanpa ada rekomendasi dari Kementerian Dalam Negeri.
Jika terbukti bersalah, ASN terkait bisa diancam hukuman pidana penjara minimal 1 bulan, maksimal 6 bulan dan pidana denda Rp 600 juta.
“Aturan tersebut akan berlaku efektif setelah ada penetapan calon bupati dan wakil bupati pada 22 September mendatang. Itu juga menjadi hari pertama kampanye,” pungkas Pungki.
(David Yohanes/tribunmataraman.com)
editor: eben haezer