Polisi Ajak Temannya Merudapaksa Istri

Pengusaha Optik di Pamekasan Bantah Pernah Berhubungan Seksual Dengan Istri Polisi

Editor: eben haezer
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasj

TRIBUNMATARAM.COM - DS, pengusaha optik ternama di Pamekasan, Madura yang namanya ikut diseret menjadi terduga pelaku kekerasan seksual terhadap istri anggota Polres Pamekasan membantah pernah berhubungan badan dengan, MH (korban).

Kuasa Hukum MSW, Sulaisi Abdurrazaq menjelaskan, kliennya ini patut diduga telah menjadi korban fitnah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP.

Kata dia, MH menyerang kehormatan DS dengan mengirim somasi atau peringatan keras dengan menggunakan diksi bahwa kliennya diduga keras telah terlibat tindak pidana sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Kekerasan Seksual.

Penuturan Sulaisi, somasi MH melalui pengacaranya tidak mengurai rangkaian peristiwa apa yang dialami MH.

Selain itu tidak menjelaskan pula locus dan tempos delicti.

"Tidak diceritakan juga bagaimana bisa terkait dengan DS, padahal DS tidak pernah melakukan perbuatan sebagaimana somasi MH," kata Sulaisi, Rabu (11/1/2023).

Pendapat Ketua DPW APSI Jatim ini, somasi yang dikirim pengacara MH yang menggunakan kata diduga tersebut apabila digunakan dalam somasi atau surat peringatan tidak dapat diartikan lain kecuali telah memiliki bukti awal, karena somasi tidak dikenal dalam perkara pidana.

Melainkan hanya dikenal dalam perkara perdata, meski dalam praktik dalam pidana juga digunakan somasi sebelum perkara diproses secara hukum.

"Somasi hanya diatur dalam Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUH Perdata dan tidak dikenal dalam perkara pidana. Somasi demikian dapat dimaknai sebagai teguran agar seseorang dapat memenuhi prestasi yang dilanggar sebelum masuk dalam penyelesaian melalui mekanisme pengadilan," jelasnya.

Dengan demikian, lanjut Sulaisi menilai MH telah memiliki alat bukti awal untuk menuduh kliennya dengan menggunakan kata diduga.

Penuturan Direktur LKBH IAIN Madura ini, MH atau lawyernya mengirim somasi melalui kurir dan disampaikan kepada pekerja DS.

Lalu disampaikan ke istri DS berinisial HYS. 

"Somasi tidak sampai ke DS, tapi istri DS dan anak-anak DS membaca somasi itu, sehingga keluarga DS menilai bahwa peristiwa tersebut seolah-olah benar," keluhnya.

Menurut Sulaisi, setelah istri DS membaca somasi dari Kuasa Hukum MH itu, kehidupan keluarganya menjadi goyah karena orang yang tidak mengerti hukum secara otomatis menilai seolah-olah DS benar-benar telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Kekerasan Seksual.

Meski Somasi itu isinya fitnah yang menyerang kehormatan DS.

Dengan demikian, lanjut Sulaisi, somasi MH yang diserahkan kepada pekerja DS lalu diserahkan ke istri DS dan dibaca anak-anaknya telah nyata memenuhi unsur agar tulisan tersebut diketahui orang lain selain kliennya.

Sehingga unsur perbuatan fitnah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP terpenuhi. 

"Klien kami berencana menyelesaikan masalah ini secara hukum pidana. Karena isi somasi itu fitnah, maka klien kami itu menolak untuk menemui MH maupun lawyernya. Ia memilih untuk melakukan laporan pidana," tegasnya.

Tetapi, setelah DS mengetahui MH menderita schizoprenia, ia dan Kuasa Hukumnya berhitung dan memilih mengikuti perkembangan masalah ini.

"Kami akan minta klien kami mengakui jika benar telah melakukan perbuatan pidana, jangan menghindar dan jangan membela diri," sarannya.

"Karena klien kami tegas tidak melakukan perbuatan sebagaimana somasi MH, klien kami ini juga akan berjuang untuk mengungkap kebenaran," sambungnya.

Bahkan DS mempersilakan agar MH melaporkan dirinya ke Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila MH menilai peristiwa tersebut benar-benar terjadi dan bukan merupakan fitnah. 

DS komitmen akan menghadapi dengan senantiasa menghormati prosesnya.

"DS selama ini hanya memiliki hubungan dengan suami MH, karena mobil DS digadaikan ke suami MH. Memang pernah berkunjung ke rumah MH, tapi hanya urusan mobil, tidak pernah melakukan perbuatan sebagaimana tuduhan yang tidak pernah dijelaskan peristiwanya itu," ungkap Sulaisi.

Pendapat Sulaisi, somasi MH tidak lumrah karena memberi waktu hanya selama 1 X 24 jam, tidak mengurai peristiwa, tidak menyebutkan peristiwa dimana dan tidak menjelaskan kapan peristiwa tersebut terjadi.

Oleh karena itu ia menilai MH dan Kuasa Hukumnya memiliki itikad tidak baik di luar kepentingan hukum.

Sehingga pihaknya memberi waktu kepada MH atau pengacaranya untuk membuktikan tuduhan itu paling lambat dalam waktu 1 X 24 jam terhitung sejak  tanggapan somasi diterima. 

"Kami telah menanggapi somasi yang dikirim MH melalui kuasanya," paparnya.

Namun kata Sulaisi, apabila ternyata MH tidak dapat membuktikan tuduhan tersebut, maka pihaknya akan menyelesaikan masalah tersebut melalui mekanisme hukum pidana karena perbuatan tersebut patut dikualifikasi melanggar Pasal 311 ayat (1) KUHP.

"Kami tetap mempertimbangkan aspek kemanusiaan yang diderita MH, sehingga sebelum melangkah lebih jauh kami akan analisa manfaat dan mudharat yang mungkin terjadi," tutupnya.

(kuswanto ferdian/tribunmataraman.com)

editor: eben haezer