Berita Tulungagung

Pengakuan Siswi yang Membuang Bayinya di Toilet Dindikpora Tulungagung, Gelap Mata dan Panik

Penulis: David Yohanes
Editor: eben haezer
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Polisi mengamati video rekaman CCTV yang menampilkan detik-detik pelaku pembuang bayi masuk ke toilet Dindikpora Tulungagung

TRIBUNMATARAMAN.COM - Penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Satreskrim Polres Tulungagung menetapkan seorang siswi sebagai tersangka pembuang bayi di kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dindikpora) Tulungagung.

Tersangka diduga dengan sengaja menelantarkan dan melakukan kekerasan kepada bayi hingga meninggal dunia.

Sementara dari hasil autopsi jenazah, bayi yang baru dilahirkan tersangka ini meninggal karena kekurangan oksigen.

"Hasil autopsi menunjukkan ada bekas jeratan di leher. Diduga itu jeratan tali pusar," terang Kasat Reskrim Polres Tulungagung, AKP Agung Kurnia Putra.

Baca juga: Mayat Bayi DItemukan di Toilet Dindikpora Tulungagung, Tapi Tidak Ada Staf Yang Sedang Hamil

Menurut keterangan tersangka, bayi perempuan itu bernafas saat dilahirkan.

Karena itu penyidik masih mendalami, apakah jeratan di leher itu disengaja atau memang terjerat saat dilahirkan.

Sebab berdasar hasil autopsi, tidak ada air di paru-paru bayi.

"Karena tidak ada air di paru-paru, bayi bukan meninggal karena tenggelam. Tapi jeratan di lehernya itu," sambung Agung.

Saat ini kondisi tersangka masih syok, karena merasa bersalah, malu, dan takut dipenjara.

 Kanit Inafis Satreskrim Polres Tulungagung, Aiptu Sugapri membawa jenazah bayi yang ditemukan di toiler Dindikpora Kabupaten Tulungagung. (tribunmataraman.com/david yohanes)

Baca juga: Polisi Amankan Pelaku Pembuang Mayat Bayi di Toilet Dindikpora Tulungagung, Masih Anak-anak

Tersangka masih berusia 16 tahun, sehingga masih kategori anak-anak.

Penyidik tidak melakukan penahanan, hanya dikenakan wajib lapor.

Masih menurut Agung, tersangka adalah siswa yang sedang praktik berjualan produk yang dihasilkan dari sekolah. 

Dia datang ke Kantor Dindikpora bersama temannya dengan maksud menawarkan barang.

Namun saat di Kantor Dindikpora  perutnya terasa mulas, masuk ke toilet dan melahirkan di sana.

"Jadi bukan disengaja dia datang ke sana untuk melahirkan. Kebetulan dia sedang ada di sana saat menjelang persalinan," ungkap Agung.

Terkait ayah biologis bayi, telah menjadi materi pemeriksaan.

Artinya, penyidik telah mengetahui ayah biologis bayi berdasar pengakuan tersangka.

Namun jika tersangka tidak melaporkan pencabulan, persetubuhan di bawah umur atau rudapaksa, maka ayah biologis bayi tidak akan diproses.

"Harus ada laporan dulu, baru ayah biologis bayi bisa diproses. Karena ini dua kasus yang berbeda," tegas Agung.

Selama ini tersangka menyembunyikan kehamilannya dengan baju gamis yang besar.

Tidak ada satu pun pihak sekolah maupun keluarga yang tahu kehamilannya.

Tersangka sudah berpikir untuk membuang bayinya dalam keadaan hidup agar ditemukan orang lain.

"Karena dia panik, bayinya dimasukkan penampungan air kloset duduk. Dia masih berharap bayinya hidup dan ditemukan orang lain," tutur Agung.

Penyidik menjerat tersangka dengan pasal 80 ayat Undang-undang Perlindungan Anak, tentang penelantaran atau kekerasan pada anak yang menyebabkan meninggal dunia.

Ancaman hukumannya 15 tahun penjara dan pidana denda Rp 3 miliar.

Karena tersangka berstatus ibu korban, maka pidana akan ditambah sepertiganya. 

Sebelumnya seorang staf kantor Dindikpora Kabupaten Tulungagung menemukan jenazah bayi di penampungan air kloset duduk, Rabu (19/10/2022).

Staf yang akan menggunakan toilet itu awalnya melihat bercak darah di lantai.

Ia tidak curiga karena mengira darah itu bekas menstruasi orang yang menggunakan toilet sebelumnya.

Darah itu dibersihkan dan ia menggunakan toilet seperti biasa.

Namun saat menekan tombol untuk menyiram kloset, yang keluar air berwarna merah.

Staf itu lalu membuka tutup penampungan air, dan di sana dia melihat sesosok bayi.

Temuan ini lalu dilaporkan ke Polres Tulungagung.

(David Yohanes/tribunmataraman.com)

editor: eben haezer