Press Release

Tepat di Hari Disabilitas, Tunanetra di Surabaya Luncurkan Media Radio Braille Surabaya (RBS)

Bertepatan hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember 2022, sejumlah tunanetra di Surabaya meluncurkan media Radio Braille Surabaya.

Editor: eben haezer
ist/AJI Surabaya
Eben Haezer, ketua AJI Surabaya (berdiri), bersama awak redaksi Radio Braille Surabaya saat soft launching yang digelar di Surabaya bertepatan dengan peringatan Hari Disabilitas Internasional, Sabtu, 3 Desember 2022 

TRIBUNMATARAMAN.COM - Bertepatan dengan hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember 2022, sejumlah tunanetra di Surabaya meluncurkan media Radio Braille Surabaya (RBS).

Peluncuran Radio Braille Surabaya ini juga berlangsung di tengah situasi menyempitnya ruang di media arus utama untuk menyuarakan hak-hak disabilitas.

Para tunanetra yang mendirikan Radio Braille Surabaya itu sebelumnya telah tergabung dalam Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) Surabaya.

Momen peluncuran diselenggarakan di Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB), Jalan Gebang Putih No. 5, Surabaya.

Tokoh-tokoh Radio Braille Surabaya

Mengemban misi mulia, RBS diinisiasi oleh guru-guru yang mengabdi di YPAB yang aktif di LPT.

Mereka adalah Tutus Setiawan, Atung Yunarto, Hanan Abdullah, dan Sugi Hermanto.

Tutus mengatakan, LPT sudah berdiri sejak 2003 dengan 3 program utama, yaitu pendidikan, riset, dan advokasi.

"Nah, di tahun 2022 ini, kami ingin memiliki 'anak' yaitu Radio Braille Surabaya (RBS). Ini supaya program-program di LPT bisa disebarluaskan sehingga masyarakat jadi tahu," ujar Pimred RBS, Tutus Setiawan saat acara peluncuran, Sabtu (3/12/2022).

Dia menyadari bahwa media memegang peranan penting untuk menyuarakan isu-isu disabilitas. Ia membawa aspirasi agar disabilitas tidak hanya ditengok saat memenangkan kompetisi Paralympic atau prestasi tertentu saja.

"Tapi banyak sisi yang bisa dieksplor, apalagi ini menjelang Pilpres 2024. Apakah politik berpihak pada disabilitas, atau tidak," tuturnya.

Koordinator Produksi RBS, Sugi Hermanto menjelaskan, meski menyandang nama Radio, namun RBS tidak seperti media berbasis radio pada umumnya. 

Kata dia, dipilihnya identitas Radio karena sifatnya yang auditif. Karakter auditif inilah karakter media yang paling bisa dikonsumsi dengan mudah oleh disabilitas tunanetra. 

Sementara konten-konten yang diproduksi, nantinya juga akan diunggah di Youtube maupun Podcast. 

"Kami pilih video pertimbangannya ialah pengguna YouTube lebih besar ketimbang media lain. Misal, mencari tutorial, kita tidak akan mencari di FaceBook, media online, dan sebagai, tapi justru di YouTube," katanya.

Ia mengungkapkan bahwa RBS ingin menyerap pengguna YouTube yang besar dengan perspektif disabilitas. Tidak hanya menampilkan sisi lemah disabilitas, namun RBS berupaya angkat sisi yang lain.

Sementara Koordinator Distribusi RBS, Hanan Abdullah membagikan kisah persiapan sebelum RBS didirikan. Ia mengalami berbagai tantangan tersendiri selama pelatihan jurnalistik yang bisa mematangkan keterampilannya di media.

"Yang saya alami dari pelatihan selama ini, banyak sekali. Mulai dari jenis berita, observasi, dan lain-lain. Paling tidak kita bisa bikin konten yang matang, karena sudah tahu dasar-dasarnya," kata perempuan itu. 

Selama ini, imbuhnya, inisiatif pendirian RBS didukung penuh oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya. Seperti memberikan pelatihan dasar-dasar jurnalistik, penggalian data, dan distribusi konten.

Sedangkan Eben Haezer, Ketua AJI Surabaya, mengatakan bahwa pelatihan terhadap awak redaksi Radio Braille Surabaya berlangsung sekitar 3 bulan. 

Kata dia, pelatihan jurnalistik untuk tunanetra memiliki keistimewaan ketimbang pelatihan jurnalistik lain yang pernah difasiltiasi oleh AJI Surabaya

"Ada metode-metode pelatihan jurnalistik yang kami berikan kepada mereka, tapi belum pernah kami berikan kepada peserta pelatihan jurnalistik seperti mahasiswa yang tergabung dalam Persma. Contohnya, pelatihan pernapasan serta observasi hanya menggunakan catur indera," kata Eben.  

Eben juga mengapresiasi adanya inisiatif dari LPT Surabaya untuk belajar berjurnalistik. 

"Inisiatif mendirikan media inklusif ini justru muncul dari mereka. Inisiatif dari mereka inilah yang jadi modal penting," katanya.

Eben tak sepakat bila Radio Braille Surabaya disebut sebagai media disabilitas. Dia merasa media ini lebih baik disebut sebagai media inklusif.

Alasannya, stigma terhadap disabilitas di Indonesia masih tinggi. Yang dia khawatirkan, apabila RBS disebut sebagia media disabilitas, nantinya publik mendukung semata hanya karena kasihan. 

"Jadi alasannya mengapa media ini disebut media inklusif, karena yang dinilai adalah keterampilannya. Kami akan melibatkan dari kawan-kawan tunarungu, tunadaksa, dan lain-lain, termasuk yang non-disabilitas. Sehingga bisa beri ruang untuk publik untuk kontribusi," pungkasnya.

(tribunmataraman.com)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved