Press Release
Dewan Pers Sesalkan Pernyataan Saksi Ahli Dari Unair di Sidang Kasus Kekerasan Jurnalis Nurhadi
Pernyataan saksi ahli dari Unair dalam persidangan perkara kekerasan terhadap jurnalis Nurhadi, disesalkan Dewan Pers dan pengacara korban.
TRIBUNMATARAMAN.com | SURABAYA - Sidang lanjutan kasus pelanggaran delik pers dan penganiayaan terhadap jurnalis Nurhadi kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu, 17 November 2021.
Agenda sidang tersebut adalah mendengarkan keterangan dua saksi yang dihadirkan pengacara terdakwa.
Saksi pertama adalah Dimas Iswahyu Putra yang pada 27 Maret 2021 menjadi videografer di pesta pernikahan anak Angin Prayitno Aji dengan anak Kombes Pol Ahmad Yani.
Tidak banyak keterangan yang diperoleh dari saksi pertama ini. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Winarko hanya mengajukan satu pertanyaan. Apakah dalam pesta pernikahan tersebut, saksi melihat tersangka sepanjang waktu atau sesekali?
Saksi menjawab bahwa karena dia bertugas mengambil video, maka dia tidak bisa melihat dua terdakwa sepanjang waktu. Dalam pesta pernikahan tersebut, dua terdakwa, FIrman Subkhi dan Purwanto bertugas sebagai mengarahkan tamu yang datang.
Saksi pertama ini juga mengaku tidak melihat keributan di pesta tersebut. Namun dia mendengar cerita dari orang-orang di sekitarnya bahwa terjadi keributan.
Sedangkan saksi berikutnya adalah Toetik Rahayuningsih. Di sidang ini dia diajukan pengacara terdakwa saksi ahli pidana umum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Dalam sidang tersebut, Toetik banyak mengeluarkan pendapat yang menurut pengacara Nurhadi tidak dapat dibenarkan.
“Pernyataan saksi ahli di sidang tadi ngawur. Pernyataannya justru memperlihatkan bahwa dia (saksi ahli) tidak memahami kovenan ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) atau kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,” ujar Fakthul Khoir, salah satu pengacara Nurhadi yang ditemui seusai sidang.
Beberapa statement Toetik yang dianggapnya ‘ngawur’ adalah: pertama, bahwa polisi boleh memeriksa isi ponsel orang lain karena polisi diberi mandat atau tugas untuk membuat situasi yang tertib dan terkendali.
“(Polisi) membuka HP orang lain tidak apa-apa. Ini upaya persuasif untuk menghindari kekacauan apalagi pihak kepolisian hadir untuk mengayomi masyarakat,” ujar Toetik di sidang tersebut.
Pernyataan lainnya dari Toetik yang juga membuat Fakthul Khoir keheranan adalah bahwa perkara antara polisi dan jurnalis sebaiknya diselesaikan secara damai, karena polisi dan jurnalis sejatinya berteman.
Hal ini dinyatakan Toetik saat ditanyai pendapatnya tentang terdakwa yang mengantar Nurhadi pulang dari hotel Arcadia.
Sebelumnya, di salah satu kamar di hotel tersebut, kedua terdakwa memasukkan Nurhadi serta menelepon redaktur Tempo secara bersama-sama, untuk meminta kepastian bahwa Tempo tak akan memublikasikan foto-foto yang diambil Nurhadi di lokasi pernikahan.
Menurut pengacara terdakwa, tindakan terdakwa yang mengantar Nurhadi pulang adalah wujud bahwa masalah antara Nurhadi dan kedua terdakwa sudah berakhir damai.
“Wartawan sama polisi itu lho berteman. Toh kasus-kasus kriminal itu dimuat wartawan. Bahasanya kan restorative justice. Jadi kalau ada orang beritikad baik dan tulus, kemudian ditersangkakan, padahal awanya damai, ya sudah samai saja, diselesaikan baik-baik. Ya menurut saya karena sama-sama profesi,” kata Toetik.
Khusus menanggapi pernyataan tersebut, Fatkhul Khoir menilai bahwa kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak sebaiknya diselesaikan melalui restorative justice, apalagi bila pelakunya adalah polisi. Soal perdamaian antar pihak, dia menganggap bahwa perdamaian bisa diwujudkan tanpa menghapus pidananya.
“Dalam hubungan antarmanusia, damai itu memang baik. Tetapi bukan berarti menghapus pidananya. Apabila hal tersebut (restorative justice) diterapkan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis, maka kerja-kerja jurnalis tidak akan pernah aman karena pelakunya tidak pernah dihukum,” kata Fatkhul Khoir.
Karena itu, Fakthul Khoir berharap agar Universitas Airlangga, mengevaluasi penugasan Toetik sebagai saksi ahli.
“Saya rasa, Unair harus mengevaluasi penugasan yang bersangkutan (Toety) sebagai saksi ahli. Karena pernyataannya banyak yang ngawur. Saya juga penasaran apakah yang bersangkutan punya karya-karya ilmiah terkait delik pers sehingga layak disebut sebagai ahli yang kompeten dalam kasus ini,” pungkasnya.
Disayangkan Dewan Pers
Pernyataan Toetik Rahayuningsih itu juga disayangkan anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli.
Menurut Azul, panggilan akrab Arif Zulkifli, Wartawan bekerja berdasarkan mandat konstitusi dan Undang-undang Pers 40/1999 untuk memenuhi hak publik untuk tahu.
"Dalam bekerja wartawan dilindungi UU dan karenanya penghalang-halangan terhadap kerja wartawan melanggar UU. Memeriksa ponsel, merusak sim card wartawan merupakan pelanggaran terhadap prinsip kebebasan pers. Patut disayangkan dalam persidangan ahli membenarkan tindakan terdakwa," ujar Azul.
"Polisi dan wartawan boleh saja berkawan, tapi itu tidak berarti polisi boleh merintangi kerja wartawan. Istilah Restorative justice yang dipakai saksi ahli agar kasus penganiayaan Nurhadi diselesaikan di luar jalur hukum merupakan salah kaprah dan upaya nyata untuk mengaburkan inti persoalan, menormal penganiayaan dan membiarkan praktik penghalang-halangan kerja jurnalistik terjadi," sambungnya.