Mata Lokal Memilih

Perludem dan FISIP Unair Dorong Kodifikasi UU Pemilu untuk Perkuat Demokrasi dan Representasi Rakyat

Seminar Kodifikasi RUU Pemilu: Mendorong Sistem Politik yang Lebih Representatif dan Demokratis

Editor: faridmukarrom
Perludem
Seminar Kodifikasi RUU Pemilu: Mendorong Sistem Politik yang Lebih Representatif dan Demokratis 

TRIBUNMATARAMAN.COM | SURABAYA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga menyelenggarakan Seminar Kodifikasi Undang-Undang Pemilu: Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan UU Pemilu, pada Rabu (8/10/2025) di Kampus FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.

Kegiatan ini menjadi ruang dialog antara masyarakat sipil, akademisi, dan pembuat kebijakan dalam membahas arah pembaruan sistem pemilu Indonesia pasca Pemilu 2024.

Seminar tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Ketua Komisi II DPR RI Dr. Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, S.H., M.H. (hadir secara daring), Ketua Program Studi Politik S2 FISIP Unair Drs. Kris Nugroho, M.A., Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Dr. Mohammad Syaiful Aris, serta Direktur Eksekutif Perludem Heroik Mutaqin Pratama. Acara ini dimoderatori oleh dosen FISIP Unair, Puspa Cintanya Djatmiko, S.IP., M.A.

Baca juga: Rekomendasi Tempat Photobooth Kekinian di Surabaya yang Layak Dikunjungi

Direktur Eksekutif Perludem, Heroik Mutaqin Pratama, menegaskan bahwa kodifikasi Undang-Undang Pemilu merupakan kebutuhan mendesak untuk memperbaiki tata kelola demokrasi sekaligus memperkuat representasi rakyat. Menurutnya, partai politik perlu menjadi institusi yang kuat dan terstruktur agar tidak hanya berfungsi sebagai kendaraan politik pragmatis.

“Partai politik yang kuat adalah partai yang memiliki kendali terhadap calon yang diusung serta konsisten antara janji politik dan pelaksanaannya di lapangan,” ujar Heroik. 

Ia menambahkan bahwa reformasi sistem kepartaian dan pemilu harus diarahkan agar fungsi representasi tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga substantif.

Heroik menjelaskan bahwa usulan masyarakat sipil terhadap kodifikasi UU Pemilu mencakup tiga dimensi besar, yaitu sistem, aktor, dan manajemen pemilu.

Menurutnya, penyederhanaan regulasi diperlukan agar tidak terjadi tumpang tindih antara UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Pilkada. Di sisi lain, perlindungan hukum dan ruang partisipasi yang lebih luas bagi pemilih, peserta pemilu, serta pemantau independen juga menjadi perhatian utama.

Selain itu, efektivitas penyelenggaraan pemilu perlu ditingkatkan dengan memperpendek masa evaluasi antarpemilu menjadi satu tahun. Ia menekankan pentingnya peran akademisi dalam penyusunan naskah kodifikasi agar berbasis riset komprehensif dan analisis kritis.

“Kodifikasi bukan hanya soal penyatuan aturan, tetapi juga tentang memperbaiki cara kita memaknai pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat,” tegasnya.

Dari sisi legislatif, Ketua Komisi II DPR RI, Dr. Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, menilai bahwa proses kodifikasi UU Pemilu harus mampu menjamin keseimbangan antara kepastian hukum dan fleksibilitas pelaksanaan.

Ia menegaskan bahwa DPR membuka ruang dialog konstruktif dengan masyarakat sipil untuk memastikan revisi undang-undang ini tidak sekadar menjadi produk politik, tetapi juga memperkuat integritas demokrasi. 

“Kodifikasi adalah langkah penting untuk menata ulang sistem elektoral kita agar lebih sederhana, efisien, dan selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat,” ujarnya.

Sementara dari kalangan akademisi, Drs. Kris Nugroho, M.A., menyoroti lemahnya hubungan antara pemilih dan calon legislatif di Indonesia.

Berdasarkan survei yang dilakukannya bersama mahasiswa FISIP Unair, sebagian besar pemilih tidak memiliki kedekatan atau keterhubungan langsung dengan caleg yang mereka pilih.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved