TRIBUNMATARAMAN.COM | KEDIRI - Ketika Anda melangkah masuk ke Kedai Baswara, suasana hangat langsung menyambut dari setiap sudut ruangannya.
Aroma kopi yang baru diseduh berpadu dengan wangi khas cat air dan kertas lukis yang menguar pelan di udara.
Tembok-temboknya bukan hanya sekadar pembatas ruang, tapi kanvas-kanvas penuh warna dari para pengunjung yang pernah menuangkan perasaan mereka di sana.
Kedai Baswara Pare bukan sekadar tempat ngopi biasa.
Terletak di Jalan Glagah Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, kafe ini menjadi pelarian artistik di tengah hiruk-pikuk Kampung Inggris.
Di sini, setiap pengunjung bebas menumpahkan isi hati, ide, atau bahkan keresahan mereka dalam bentuk lukisan, tanpa harus membawa alat-alat sendiri.
Setiap meja kayu di kedai ini tampak sederhana, namun terselip kuas-kuas kecil dan cat air yang siap digunakan.
Ada kertas lukis berukuran A4 yang disediakan seharga Rp 7.000 sudah termasuk alat dan media lukis yang bisa dipakai sepuasnya.
Tak heran jika sebagian besar dinding kedai kini telah dipenuhi oleh lukisan-lukisan penuh cerita. Ada gambar pemandangan, hewan, tokoh imajinatif, hingga goresan kata-kata galau.
Sukma Maulana, pemuda 21 tahun yang menjadi pemilik sekaligus penggagas konsep unik ini, mengatakan bahwa semua berawal dari rasa putus asa.
"Dulu ini cuma kafe biasa, hampir tutup. Aku mikir gimana caranya biar bisa bertahan. Lalu aku baca buku Purple Cow dari Seth Godin," kata Sukma saat ditemui, Rabu (11/6/2025).
Buku itu membuka matanya, dimana sebuah bisnis harus punya daya beda, harus menjadi sapi ungu di tengah padang rumput yang penuh sapi biasa. Tapi, menurut Sukma, itu belum cukup.
"Ada tiga kunci biar ramai, yaitu kualitas, keunikan, dan perhatian publik. Kalau salah satu kurang, ya susah bertahan," jelasnya.
Kini Kedai Baswara sudah berumur dua tahun. Dari awalnya hanya dikelola tiga orang, kini sudah ada sepuluh karyawan yang melayani ratusan pengunjung setiap minggunya.
Pendapatan per hari bahkan bisa mencapai Rp 2 juta, dengan harga menu yang tetap terjangkau, mulai Rp 10.000 hingga Rp 20.000.
Menunya sederhana tapi menggugah selera, mulai dari kopi, aneka snack, dan yang paling diminati adalah es potong yang dilapisi roti.
Rasanya klasik, seperti nostalgia masa kecil, cocok dinikmati sambil menunggu cat lukisan mengering di meja.
Yang membuat tempat ini terasa sangat personal adalah kisah-kisah yang tertinggal di balik setiap lukisan.
"Pernah ada perempuan datang malam-malam, mukanya kelihatan habis nangis. Dia pesan kopi, lalu melukis sampai jam 11 malam. Mungkin dia ke sini sekalian curhat lewat lukisannya," cerita Sukma.
Saat ini, dinding-dinding di kedai itu sudah hampir penuh dengan karya pengunjung. Sukma mengaku akan menyiapkan ruang galeri baru yang lebih besar. Kafe ini juga termasuk satu-satunya di wilayah Pare bahkan Kediri yang mengusung konsep ngopi sambil melukis.
"Biar karya-karya lama nggak cuma sekadar tempelan, tapi jadi bagian dari memori yang hidup di sini," katanya.
Sekitar 80 persen pengunjung kedai ini adalah siswa dan mahasiswa dari Kampung Inggris. Tapi banyak juga yang datang dari luar Pare, seperti Santi, siswa asal Bojonegoro yang sudah beberapa kali datang.
"Rasanya kayak terapi. Kita bisa painting date, bisa ngobrol sambil melukis. Menuang pikiran tanpa harus berkata-kata," ucapnya.
(isya anshori/tribunmataraman.com)
editor: eben haezer