TRIBUNMATARAMAN.COM - Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerbitkan Permendikbud nomor 40 tahun 2021 sebagai dasar pengangkatan guru penggerak menjadi kepala sekolah.
Hal ini menjadikan guru penggerak tidak perlu mengikuti Diklat kepala sekolah untuk bisa diangkat sebagai kepal asekolah.
Selain itu, sejak pertengahan tahun lalu, Menteri Nadiem Makariem juga meluncurkan Sistem Pengangkatan Kepala Sekolah secara daring.
Kebijakan ini pun membuat perhatian bagi pemerhati dan pakar pendidikan, Prof Dr Warsono MS.
Dikatakan Warsono, basis utama menjadi kepala sekolah adalah harus mengikuti diklat kepala sekolah.
Hal tersebut juga telah tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, mengamanatkan bahwa kepala sekolah merupakan pimpinan tertinggi di sekolah wajib memiliki lima dimensi kompetensi, yaitu dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.
Namun melalui program guru penggerak, peluang menjadi kepala sekolah pun terbuka lebar, tanpa mengikuti diklat kepala sekolah.
Berdasarkan data Balai Besar Guru Penggerak (BBPG) Jatim, sampai saat ini jumlah guru penggerak dari semua jenjang sebanyak 7895 orang.
Sementara di jenjang SMA sebanyak 946; SMK 833 guru penggerak dan SLB 68 guru penggerak. Dari jumlah tersebut yang telah diangkat menjadi kepala sekolah baru 54 orang.
Terkait hal ini, Pakar Pendidikan Unesa, Prof Dr Warsono menilai guru penggerak dan kepala sekolah merupakan dua hal yang berbeda secara karakter, prinsip dan cara kerja.
Kepala sekolah dibentuk dan dituntut harus menguasai manajerial lembaga. Sementara guru penggerak bertugas untuk memotivasi siswa dan terus berinovasi dalam bahan ajar.
"Guru sendiri harus menggerakkan dirinya menjadi pembelajar, memotivasi siswa, mengembangkan kreatifitas dan mengembangkan berbagi metode dan materi di wilayahnya. Berbeda dengan kepala sekolah yang memang dipersiapkan secara kompetensi untuk menjadi manajer dan pemimpin," jelas Prof Warsono pada SURYA.CO.ID, Selasa (2/1/2024).
Dia berpendapat, kepala sekolah harus memiliki kemampuan manajerial, kewibawaan dan kepemimpinan.
Jika guru penggerak dipaksakan menjadi kepala sekolah, tambah dia, maka esensinya ada yang kurang yaitu karakter kepemimpinan dan manajerial.
"Jadi kalau memang (guru penggerak) dipersiapkan kesana ya diberi pelatihan lagi. Kalau dulu kan lewat cakep (calon kepala sekolah). Sekarang nggak ada. Karena ini dua hal berbeda. Kadang-kadang ada orang sukses jadi kepala sekolah tapi tidak sukses jadi guru. Atau sebaliknya Karena kompetensi tentu berbeda," tegasnya.
Jika hal tersebut terus dipaksakan, Guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa ini, menyebut jika tidak menutup kemungkinan guru penggerak yang menjadi kepala sekolah akan menjadi single fighter dalam memimpin lembaganya.
Misalnya saja, Prof Warsono menekankan, guru penggerak memiliki keunggulan ke di sisi kreatifitas. Salah satu mungkin yang bisa dibawa ada kreatifitasnya dalam membuat inovasi kebijakan.
"Tapi kebijakan ini tidak bisa dijalankan oleh kepala sekolah sendiri. Itu artinya dia harus menggerakkan SDM, dan mengelola sumber daya ini butuh manajerial dan kepemimpinan. Kalau ini tidak dimiliki maka akan bekerja single fighter. Dan ini kebijakan meskipun baik tapi jika tidak didukung anak buah karena tidak memiliki basis kepemipinan dan kurangnya manajerial ya tidak akan berhasil," tegasnya.
Sementara, untuk menjadi kepala sekolah, secara otomatis tentu menjadi leader. Oleh karenanya kemampuan manajerial, dan leadership dibutuhkan.
Mantan Rektor Unesa ini kembali menekankan bahwa modal guru penggerak adalah kreativitas, menjadi pembelajar, mengembangkan inovasi, mengembangkan metode, dan memotivasi siswa dalam kelas. Sedangkan kepala sekolah yang dibutuhkan leadership.
"Karena pemimpin inikan mengelola menggerakkan sumber daya untuk mencapai tujuan. Artinya mengelola uang, SDM sekolah, mengelola orang ini butuh kepemimpinan bagaimana bisa mensinergikan ini. Ini berbeda ketika menjadi guru. Sisi guru penggerak di sisi kreatif ini tidak cukup untuk menjadi kepala sekolah," pungkas dia.
Dikonfirmasi terpisah, Kabag Umum Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Jawa Timur, Mohamad Nasikh Lil menyebut sesuai dengan Permendikbudristek 40 tahun 2021 salah satu persyaratan menjadi Kepala sekolah adalah memiliki sertifikat Guru Penggerak.
Akan tetapi, masih ada persyaratan lain yang harus dipenuhi untuk menjadi kepala sekolah.
Di samping itu, guru penggerak tidak hanya berasal dari guru ASN tetapi juga berasal dari guru-guru swasta yang berada di bawah naungan yayasan, yang memiliki kewenangan dalam pengangkatan kepala sekolah.
"Para Guru Penggerak ini disiapkan menjadi seorang pemimpin pembelajaran yang diharapkan mampu menjadi agen perubahan dalam melakukan transformasi pendidikan di sekolah, menguatkan komunitas belajar yang ada di lingkungan sekolahnya dan lingkungan belajar di sekitar sekolahnya," jabarnya.
Lebih lanjut, Nasikh juga menekankan dalam program guru penggerak, mereka sudah diberikan berbagai dasar kompetensi tentang manajemen aset, pengambilan keputusan, bagaimana melakukan pemenuhan kebutuhan pembelajaran bagi murid.
Serta bagaimana melakukan berbagai inovasi perubahan serta kemampuan untuk bisa menggerakkan komunitas lingkungan belajar di sekolah.
Selain itu, guru penggerak juga memiliki kemandirian dalam belajar dan saling berbagi untuk bisa mengembangkan potensi kompetensi yang dimiliki dan kompetensi di lingkungan sekolahnya.
"Bekal yang sudah diperoleh akan menguatkan kapasitas guru penggerak dalam menjalankan tugas dan fungsinya di sekolah. Tentunya mereka masih tetap perlu untuk selalu belajar dan menguatkan kualitas kompetensinya melalui berbagai sumber dan pengalaman," tandasnya.
(sulvi sofiana/tribunmataraman.com)
editor: eben haezer