Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan. Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan mengqadha, semisal uzur sakit atau perjalanannya (safar) berlanjut hingga memasuki Ramadhan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya, ia hanya diwajibkan mengqadha puasa.
Menurut pendapat al-Ashah, fidyah kategori ini menjadi berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun.
Contoh, seseorang punya tanggungan qadha puasa sehari di tahun 2018, ia tidak kunjung mengqadha sampai masuk Ramadhan tahun 2020, maka dengan berlalunya dua tahun (dua kali putaran Ramadhan), kewajiban fidyah berlipat ganda menjadi dua mud. Syekh Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan:
(ومن أخر قضاء رمضان مع إمكانه) بأن كان مقيما صحيحا. (حتى دخل رمضان آخر لزمه مع القضاء لكل يوم مد) وأثم كما ذكره في شرح المهذب وذكر فيه أنه يلزم المد بمجرد دخول رمضان، أما من لم يمكنه القضاء، بأن استمر مسافرا أو مريضا حتى دخل رمضان فلا شيء عليه بالتأخير، لأن تأخير الأداء بهذا العذر جائز فتأخير القضاء أولى بالجواز.
Artinya: “Orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan padahal imkan (ada kesempatan), sekira ia mukim dan sehat, hingga masuk Ramadhan yang lain, maka selain qadha ia wajib membayar satu mud makanan setiap hari puasa yang ditinggalkan, dan orang tersebut berdosa seperti yang disebutkan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab.
4. Orang yang sakit keras
Orang yang memiliki penyakit keras, yang apabila ia berpuasa justru memperparah keadaannya, serta orang sakit keras yang sudah tak ada harapan hidup. Maka tidak terkena tuntutan kewajiban puasa Ramadan.
Sebagai gantinya, orang tersebut diminta untuk membayar fidyah sesuai hari puasa yang ditinggalkan.
Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban mengganti puasa di kemudian hari.
Berbeda dengan orang sakit yang masih diharapkan sembuh, ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia diperbolehkan tidak berpuasa apabila penyakitnya akan semakin parah apabila berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib, juz 2, hal. 397).
5. Wanita hamil atau ibu menyusui
Kategori ini diperbolehkan meninggalkan puasa apabila dengan ia berpuasa dapat membahayakan kesehatan diri sendiri dan janin.
Mengenai kewajiban fidyah untuk ibu hamil dan menyusui, diperinci sebagai berikut:
Pertama, jika ia khawatir keselamatan dirinya atau dirinya beserta anak /janinya, maka tidak ada kewajiban fidyah.
Kedua, jika hanya khawatir keselamatan anak/janinnya, maka wajib membayar fidyah. (lihat Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi, Fath al-Qarib Hamisy Qut al-Habib al-Gharib, hal. 223).
Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Tribun Mataraman
(tribunmataraman.com)