TRIBUNMATARAMAN.COM - Respons keluarga almarhum Handi dan almarhumah Salsabila yang jasadnya dibuang ke sungai di luar dugaan atas tuntutan penjara seumur hidup terhadap Kolonel Priyanto yang dibacakan Oditur Militer Kolonel Sus Wirdei Boy.
Menurut pihak keluarga, tuntutan yang dibacakan itu dinilai terlalu ringan. Pihak keluarga kedua almarhum menginginkan Kolonel Priyanto dituntut hukuman mati.
"Kami sedari awal sudah minta hukum seberat-beratnya, yaitu hukuman mati," tandas orang tua Handi, Agan Suryati saat dihubungi.
Ia mengaku tidak puas dan kecewa dengan tuntutan hukuman seumur hidup.
Terdakwa yang menabrak anaknya kemudian jasadnya dibuang ke sungai pantas dihukum mati. Pasalnya, perbuatan yang dilakukan sangat di luar batas kewajaran.
Apalagi kondisi kedua korban tidak bersalah.
"Dia sudah terbukti bersalah, kami tidak setuju dengan tuntutan hukuman seumur hidup," tegasnya.
Seperti diketahui sebelumnya, Kolonel Inf Priyanto yang membuang jasad sejoli ke sungai usai menabrak dituntut hukuman seumur hidup dan dipecat dari TNI oleh Oditurat Militer Tinggi II Jakarta.
Terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana itu dijerat dengan Pasal 340 KUHP.
Namun Oditur Militer selaku Jaksa Penuntut memilih mengajukan tuntutan hukuman seumur hidup penjara kepada Priyanto.
Oditur Militer Tinggi II Jakarta, Kolonel Sus Wirdel Boy, mengatakan tuntutan hukuman penjara seumur hidup dan pidana tambahan berupa pemecatan dinas dari TNI AD ini berdasar fakta-fakta sidang.
"Setelah fakta kami temukan saya selaku Oditur Militer Tinggi melapor kepada kepala, dan tuntutan kami dirapatkan di Oren TNI (Oditurat Jenderal)," kata Wirdel, Kamis (21/4/2022).
Menurutnya, hasil rapat tersebut Orjen TNI menentukan bahwa tuntutan hukuman penjara seumur hidup dan pemecatan dinas dari TNI AD adalah yang paling tepat diberikan kepada Priyanto.
Tuntunan itu yang kemudian disampaikan Wirdel pada sidang hari ini kepada Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, kemudian Priyanto dan tim penasihat hukumnya.
"Jadi tuntutan yang barusan dibacakan adalah petunjuk dari Orjen TNI. Barangkali beliau dengan stafnya di sana sudah menyimpulkan bahwa hukuman ini adalah yang paling cocok," ujarnya.
Wirdel menuturkan hal yang meringankan meringankan tuntutan di antaranya Priyanto menyesali perbuatannya membuang Handi dan Salsabila ke Sungai Serayu salah.
Yakni terkait pengakuan Priyanto yang menyebut motif membuang kedua korban karena ingin melindungi anak buahnya, Kopda Andreas Dwi Atmoko sebagai sopir saat kecelakaan terjadi.
"Seperti yang disampaikan pada sidang-sidang terdahulu kejadian ini terjadi karena dia (Priyanto) merasa ada hub emosi dengan Dwi Atmoko atau saksi dua yang sudah membantu dia, mungkin begitu," ujarnya.
Sementara saat dikonfirmasi apa pernyataan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang pernah menyebut Priyanto bakal dituntut hukuman penjara seumur hidup ikut andil menentukan tuntutan.
Wirdel menuturkan pernyataan Andika yang dilontarkan sebelum proses sidang dimulai itu memang menjadi acuan mereka dalam menentukan tuntutan kepada Priyanto.
"Pada waktu Panglima mengeluarkan statement (Priyanto dituntut hukuman seumur hidup) itu itu akan menjadi patokan bagi kami. Tapi yang terpenting adalah fakta di persidangan," tuturnya.
Wirdel mengatakan saat Andika melontarkan keterangan tuntutan untuk Priyanto itu proses sidang belum dimulai, sehingga fakta-fakta persidangan urung terungkap.
Baru setelah proses sidang ditemukan fakta bahwa Handi dalam keadaan hidup ketika dibuang ke Sungai Serayu, sehingga Priyanto dituntut melanggar Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana.
"Barangkali Orjen kami juga meminta petunjuk kepada Panglima untuk menentukan berat ringannya hukuman. Pada waktu statement Panglima itu kita kan belum lihat fakta," lanjut Wirdel.
Sebelumnya, saat sidang berlangsung, kelakuan sang kolonel pernah dikuliti oleh majelis atas hubungannya dengan Lala.
Hubungan Kolonel Priyanto dengan seorang janda, Nurmala Sari yang sudah berlangsung sekitar 9 tahun baru terungkap dalam sidang pembunuhan berencana sua sejoli Nagreg, Jawa Barat di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta.
Perkenalan hingga terjalin hubungan berlangsung sejak 2013. Ketika itu, terdakwa Kolonel Priyanto bertugas sebagai Guru Militer (Gumil) di Pusdik Pemilum Cimahi, Jawa Barat.
Lamannya perkenalan yang sudah terjalin, mantan Kasi Intel Kasrem 133/NW (Gorontalo) Kodam XIII/Mdk, mengajak Lala Cimahi mengikuti rapat di Pusat Zeni Angkatan Darat (Pusziad) pada 6 Desember 2021 lalu.
Namun ketika rapat berlangsung, Lala ditinggal di Hotel Holiday Inn yang lokasinya dekat dengan Pusziad di Jakarta.
Kronologi Terungkapnya Hubungan Kolonel Priyanto dengan Lala
Dalam kasus ini, Kolonel Priyanto didakwa pembunuhan berencana terhadap dua sejoli, Handi Saputra (17) dan Salsabila (14).
Kedua korban ditabrak mobil yang ditumpangi terdakwa kemudian jaaadnya dibuang ke sungai.
Dari kejadian yang ada, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Brigjen TNI Faridah Faisal menyuruh Kolonel Priyanto menceritakan kronologi perjalanan bersama dua anak buahnya, Kopda Andreas Dwi Atmoko dan Koptu Ahmad Sholeh sebelum peristiwa terjadi.
Secara detail Kolonel Priyanto menceritakannya.
Awalnya terdakwa berangkat dari Gorontalo ke Yogyakarta kemudian ke Jakarta untuk mengikuti rapat di Pusat Zeni Angkatan Darat (Pusziad) pada 6 Desember 2021.
Dari Yogyakarta ke Jakarta, Kolonel Priyanto berangkat bersama Kopda Andreas Dwi Atmoko dan Koptu Achmad Sholeh.
"Kami berangkat menuju Jakarta, waktu itu disopiri oleh Dwi Atmoko dan Achmad Sholeh secara bergantian. Kami sempat mampir ke Bandung," ujar Kolonel Priyanto dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Kamis (7/4/2022).
Sang kolonel lalu menjelaskan dalam perjalanan menuju Jakarta sempat menjemput Lala yang belakangan diketahui bernama Nurmala Sari di Cimahi.
"Teman atau apa?" tanya hakim Faridah.
"Teman," jawab Kolonel Priyanto.
"Statusnya apa ini Nurmala Sari?" kejar Faridah.
"Janda," jawab Kolonel Priyanto.
Lantas Kolonel Priyanto mengungkapkan di persidangan bahwa dirinya berteman dengan Lala sejak 2013.
Saat itu, ia bertugas sebagai Guru Militer (Gumil) di Pusdik Pemilum Cimahi, Jawa Barat.
Rupanya siapa sosok Lala, Hakim Anggota Kolonel Chk Surjadi Syamsir terpancing untuk mengejar hubungan terdakwa dengan Lala sejauhmana.
Dari sana diketahui bahwa Priyanto mengaku tidak pernah menikah dengan Lala.
"Tidak (pernah menikah), hanya sebagai teman biasa saja," jawab Priyanto ketika ditanya Surjadi.
Setelahnya, Kolonel Priyanto, Lala, dan dua anak buahnya tiba di Jakarta. Mereka menginap di Holiday Inn dekat dengan Pusziad di Jakarta.
"Terdakwa sekamar dengan siapa?" tanya hakim.
"Siap, dengan Saudara Lala ini," ungkap Kolonel Priyanto.
Setelah mengikuti rapat, Priyanto bersama dua anak buahnya kembali ke Yogyakarta. Namun mampir ke Cimahi untuk mengantar Lala pulang.
Di Cimahi, terdakwa Priyanto mengaku sempat menginap lagi bersama Lala.
"Jam 4 sore, kita menginap di Hotel Ibis," sebut Priyanto.
Ketika hendak kembali ke Yogyakarta, Priyanto Cs terlibat insiden tabrakan dengan Handi yang membonceng Salsa di Nagreg, Jawa Barat.
Dalam peristiwa tersebut, Kolonel Priyanto cs membawa sejoli hingga keluar dari Jawa Barat dan membuang tubuh kedua korban ke anak Sungai Serayu.
Salsa dibuang ke sungai dalam kondisi meninggal dunia.
Handi diduga dibuang ke sungai dalam kondisi masih hidup.
Jasad kedua korban ditemukan di Sungai Serayu.
Dari ketiga tersangka, diketahui Kolonel Priyanto yang menolak membawa Handi-Salsa ke rumah sakit setelah kecelakaan akibat tabrakan dengan mobilnya.
Dia juga yang memiliki ide membuang tubuh Handi-Salsa ke sungai.
Kolonel Priyanto didakwa dengan pasal berlapis karena membunuh dua remaja sipil.
Terdakwa Kolonel Priyanto didakwa dengan Pasal 340 KUHP, Pasal 338 KUHP, Pasal 328 KUHP, Pasal 333 KUHP, dan Pasal 181 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (Tribun Jateng/Tribun Jakarta)