Press Release

Refleksi 20 Tahun UU Perlindungan Anak: Kekerasan dan Eksploitasi Anak Masih Marak

Indonesia memiliki UU Perlindungan Anak sejak 2002. Namun hingga kini masih sering terjadi kekerasan dan eksploitasi terhadap anak.

Editor: eben haezer
ist/AJI Surabaya-Andre Yuris
Talkshow Peringatan Hari Anak Sedunia, Minggu (20/11) lalu di Surabaya yang digelar ALIT Indonesia bersama AJI Surabaya 

TRIBUNMATARAMAN.COM - Indonesia memiliki UU Perlindungan Anak sejak 2002. 

Meski UU ini sudah 20 tahun umurnya, namun ternyata masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak anak. 

Kekerasan terhadap anak dan eksploitasi anak masih banyak terjadi. 

Ibarat gunung es, meski banyak yang mulai terungkap, namun akar dan kasus sebenarnya masih jadi pekerjaan rumah bagi semua pihak.

Hal ini terungkap dalam Talkshow Peringatan Hari Anak Sedunia, Minggu (20/11) lalu di Surabaya yang mengambil tema CHILD PROTECTION NOW.

Talkshow yang digagas oleh ALIT Indonesia ini diselenggarakan untuk mengingatkan kembali kepada semua pihak bahwa masih banyak kasus kekerasan dan eksploitasi anak yang belum diselesaikan. 

ALIT Indonesia adalah sebuah lembaga independen yang bergerak di bidang perlindungan anak dan tahun 2022 ini telah memasuki kiprahnya selama 25 tahun.

Talkshow menghadirkan pembicara dari berbagai elemen penegak hukum, praktisi hukum, jurnalis dan lembaga independent yang bergerak di ranah perlindungan anak.

Rakai Kurmavatara, Program Manager ALIT Indonesia yang saat ini tengah menjalankan Program Desa Wisata Agro, Desa Wisata Industri yang Ramah Anak dan Berbudaya (DEWA DEWI RAMADAYA) menyampaikan bahwa kondisi anak-anak di desa tidak seperti yang ada di perkotaan.

"Kurangnya fasilitas dalam tumbuh kembang mereka di pedesaan, melahirkan banyak kisah perkawinan anak, dengan alasan ekonomi," kata Rakai.

"Peran pengasuhan orang tua yang apatis dan menganggap enteng permasalahan anak dan belum memahami undang-undang dan konvensi hak anak, menjadi faktor yang mendorong terus tingginya angka perkawinan anak," sambungnya. 

Senada dengan Rakai, Edward Dewaruci mengingatkan, Convention Of The Right Of the Child (CRC) muncul karena kondisi global yang menganggap bahwa manusia itu harus diperlakukan sebagaimana mestinya.

Manusia juga harus dimanusiakan sebagaimana manusia. Kesadaran sebagai manusia masih belum mampu untuk memanusiakan manusia sebagaimana mestinya dan itu masih banyak terjadi tanpa memandang strata sosial, warna kulit, asal usul.

"Hal inilah yang kemudian membuat PBB melalui komisi hak anak membuat konvensi hak anak pada tahun 1989. Pada tahun 1990, konvensi tersebut diakui oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia," katanya. 

Oki Muji Astuti, jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum dan IPDA Triwulandari, Kasubnit 6 PPA Polrestabes Surabaya hadir dalam Talkshow dengan memberikan penjelasan tentang kaidah perlindungan anak dalam ranah hukum.

Endah Triwijati, Ketua Savy Amira menanggapi terkait psikologi anak yang berada di situasi kekerasan.

Kata dia, penyelesaian secara hukum tidak memberikan jaminan tuntasnya trauma korban.

Tiwi mengingatkan kembali bagaimana korban pelecehan dan kekerasan terdampak tidak hanya secara psikologi dan fisik, namun juga posisi sosialnya di hadapan masyarakat.

"Kita hidup di situasi yang terbiasa untuk lebih mementingkan omongan orang, yang kemudian ini berdampak pada sulitnya bagi kita, terutama korban, untuk menyuarakan pendapatnya meskipun itu sebuah kebenaran. Apalagi jika hal itu berbeda dengan yang dianggap “normal” bagi masyarakat," tuturnya. 

Menurut Tiwi, hal yang sangat penting untuk dilakukan ketika mendampingi anak-anak yang menjadi korban situasi ini adalah dengan fokus pada keberhargaan diri, bisa dari memperhatikan hal-hal kecil yang dia lakukan.

Sedangkan Eben Haezer, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya menilai, jurnalis perlu membangun semangat jurnalisme advokasi untuk membela anak-anak korban kekerasan. 

Dia juga menilai pentingnya keterlibatan citizen journalist atau jurnalis warga untuk ikut menyuarakan dukungan terhadap anak-anak yang menjadi korban kekerasan. 

Pemutaran Film

Talkshow ini diawali dengan pemutaran film produksi Kindermissionwerk Jerman yang berkisah tentang langkah-langkah perlindungan anak yang telah dilakukan di Indonesia.

Saat ini ALIT Indonesia menjalankan Program Dewa Dewi Ramadaya sebagai salah satu solusi menjaga ketahanan dan kedaulatan ekonomi keluarga-keluarga di desa.

Ketahanan dan kedaulatan keluarga, bagi ALIT Indonesia menjadi syarat penting bagi terlindunginya anak-anak dalam keluarga dan mendapatkan haknya secara optimal.

Di akhir talkshow, sebagai tindak lanjut, ALIT Indonesia bergandengan tangan dengan AJI Surabaya untuk mendorong citizen journalism sebagai langkah control dan peningkatan literasi masyarakat akan perlindungan anak. 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved