Ajudan Kadiv Propam Tewas Ditembak
Pengacara Ungkap Siksaan yang Dialami Brigadri J Mulai Leher Dijerat & Kuku Dicopot Sebelum Ditembak
Kuasa Hukum Brigadir Yoshua temukan bukti baru terkait siksaan kematian anak dari Samuel Hutabarat.
TRIBUNMATARAMAN.com - Kuasa Hukum Brigadir Yoshua temukan bukti baru terkait kasus kematian anak dari Samuel Hutabarat.
Terbaru Kamaruddin selaku kuasa hukum menyampaikan adanya kejanggalan dari kematian Brigadir Yosua.
Bahkan Kuasa Hukum Kamaruddin mempunyai adanya bukti baru diduga penyiksaan yang dialami oleh Brigadi Yosua sebelum tewas.
Adapun bukti baru itu tidak lain dugaan Brigadir J diduga dijerat lehernya sebelum ditembak pistol. Dugaan penganiayaan itu terlihat dari barang bukti foto jenazah Brigadir J yang dibawa oleh Tim Kuasa Hukum.
Hal itu disampaikan Anggota Kuasa Hukum Brigadir J Kamaruddin Simanjuntak saat hadir untuk menyaksikan gelar perkara serta penjelasan hasil outopsi terkait kematian kliennya, di di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (20/7).
"Kami semakin mendapatkan bukti-bukti lain bahwa ternyata almarhum Brigadir Yosua ini sebelum ditembak kami mendapatkan lagi ada luka semacam lilitan di leher artinya ada dugaan bahwa almarhum Brigadir Yoshua ini dijerat dari belakang," kata Kamaruddin.
Kamaruddin menuturkan bahwa jeratan di leher itu disebutnya meninggalkan bekas luka di jenazah Brigadir J. Dia juga sempat menunjukkan foto bekas luka itu di hadapan awak media.
"Jadi di dalam lehernya itu ada semacam goresan yang keliling dari ke kanan ke kiri seperti ditarik pakai tali dari belakang, dan meninggalkan luka memar," ungkapnya.
Karena itu, Kamarudin meyakini bahwa bukti-bukti itu menunjukkan adanya dugaan penganiayaan yang dialami Brigadir J sebelum tewas ditembak. Pelakunya juga diduga lebih dari satu orang.
"Kami semakin yakin bahwa memang pelaku dugaan tindak pidana ini adalah terencana oleh orang-orang tertentu dan tidak mungkin satu orang karena ada orang yang berperan pegang pistol, ada yang menjerat leher, ada yang menggunakan senjata tajam dan sebagainya," terangnya.
Kamaruddin juga mengatakan, pihaknya juga akan melayangkan surat permohonan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membentuk tim guna menggali atau membongkar makam Brigadir J dan melakukan uji forensik berupa visum et repertum dan autopsi ulang.
"Mengapa itu sangat perlu karena dari penjelasan Karo Penmas Polri, (Brigadir J) meninggal almarhum karena tembak menembak, tetapi temuan fakta kami bukan tembak menembak seperti tadi, ada jerar tali di leher atau jerat kawat. Tangannya sudah hancur dipatah-patahin, tinggal kulit-kulitnya , ada luka gores, ada luka robek di kepala, ada luka robek di bibir, ada luka robek sampai dijahit di hidung, ada luka robek di bawah mata, ada luka robek di perut, memar memar sampai di kaki dan di jari-jari. Jadi itu bukan akibat peluru," paparnya.
Ia pun menyebut, tim independen yang diminta turut melibatkan dokter, dan bukan dari dokter sebelumnya. Yaitu dari RSPAD, RSAL, RSAU, RSCM, RS swasta, mereka bersama sama bukan sendiri mereka tim agar transparan agar autentik.
Kamaruddin juga menolak hasil autopsi yang sebelumnya yang menyebut Brigadir J tewas karena baku tembak.
"Oleh karena itu, kami menolak dan memprotes hasil yang kemarin itu karena kredibilitasnya itu. Kami mohon dibentuk tim yang baru supaya legal dan dapat dipercaya. Supaya kredibilitasnya bisa dipercaya dan otentik maka dibentuklah yang baru," jelasnya.
Kuku Brigadir J Diduga Dicopot Sebelum Tewas
Kamaruddin menyebutkan jika adanya temuan jika Brigpol Yosua dapat penyiksaan sebelum tewas.
Bahkan Kamaruddin menyatakan, kuku Brigadir J lepas.
Menurut Kamaruddin, kuku jari tangan Brigadir J diduga dicabut paksa saat masih hidup.
"Kemudian kukunya dicabut, nah kita perkirakan dia masih hidup waktu dicabut.
Jadi ada penyiksaan," ujar Kamaruddin saat ditemui di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (21/7/2022).
Selain kuku diduga dicabut paksa, Kamaruddin membeberkan ada luka lain di tangan Brigadir J yang bukan luka tembak.
Salah satunya adalah lubang di tangan Brigadir J.
"Di leher ada jeratan semacam tali, itu diduga dari belakang.
Kemudian ada sayatan, di hidung ada sayatan sampai dijahit,
di bawah mata ada beberapa sayatan,
kemudian di bahu ada perusakan hancur ini," tuturnya.
Lebih jauh, Kamaruddin juga heran dengan jari Brigadir J yang patah.
Berdasarkan temuan-temuan kejanggalan ini, Kamaruddin semakin yakin kematian Brigadir J bukan dikarenakan baku tembak dengan Bharada E.
Kamaruddin menekankan tidak mungkin pelaku pembunuhan Brigadir J hanya satu orang.
"Oleh karena itu saya sangat yakin betul bahwa ini adalah ulah psikopat, atau penyiksaan.
Oleh karena itu kita menolak cara-cara seperti ini di negara Pancasila," imbuh Kamaruddin.
Menurut Kamaruddin, keluarga saat ini makin meyakini bahwa pembunuhan terhadap Brigadir J sudah terencana karena adanya bekas luka yang janggal.
Bekas luka berupa lilitan di leher Brigadir J, misalnya, yang membuat pihak keluarga semakin curiga.
“Kami semakin mendapatkan bukti-bukti lain bahwa ternyata almarhum Brigadir Yosua ini sebelum ditembak, kami mendapatkan lagi luka semacam lilitan di leher.
Artinya ada dugaan bahwa almarhum Brigadir ini dijerat dari belakang,” ujar Kamaruddin di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (20/7/2022).
Saat menyampaikan dugaan luka lilitan tersebut, Kamarudin juga menunjukkan foto jenazah untuk memperkuat dugaannya tersebut.
Menurutnya, luka lilitan di leher tersebut berada di sekitar bagian kanan sampai ke kiri leher.
“Jadi di lehernya itu ada semacam goresan yang keliling dari kanan dan ke kiri seperti ditarik pakai tali dari belakang dan meninggalkan luka dan memar,” ucap dia.
Sementara Polri menyebutkan bahwa Brigadir J meninggal setelah baku tembak dengan Bharada E.
Saling tembak itu disebabkan setelah Brigadir J melakukan pelecehan terhadap istri Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo.
Menurut polisi, Brigadir J meninggal di rumah dinas Irjen Sambo pada Jumat (8/7/2022) dengan tujuh luka tembak.
Sarankan Pakai SCI
Masukan dan saran berdatangan untuk Tim Investigasi Khusus bentukan Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo dalam mengungkap kasus dugaan penembakan Brigadir J oleh Bharada E di rumah Irjen Pol Ferdy Sambo.
Salah satu masukan datang dari Komunikolog Universitas Pelita Harapan (UPH) Prof Emrus Sihombing.
Emrus menyarankan Tim Investigasi Khusus menggunakan pendekatan instrumen Scientific Crime Investigation (SCI) dalam mengungkap kasus tersebut.
“Saya menyarankan satu satunya menuntaskan kasus ini adalah dengan pendekatan Scientific Crime Investigation (SCI) yang lepas dari pengaruh jabatan dan kepentingan lainnya,” kata Emrus Sihombing.
Dengan digunakannya pendekatan SCI, Emrus yakin nantinya data itu sendiri yang akan berbicara. Termasuk di dalamnya tentang siapa saja yang terlibat, siapa aktor utama, siapa peran pembantu, dan bagaimana prosesnya.
Menurut Emrus, hanya pendekatan dengan menggunakan instrumen SCI yang mampu mengungkap kasus dugaan penembakan Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo.
Pendekatan SCI ini sekaligus menjawab serta menghentikan berbagai asumsi subjektif yang kemungkinan semakin liar ke depan.
Lebih jauh, guru besar yang akrab disapa Bang Emrus ini mengusulkan tim SCI terdiri dari para doktor krimonologi, ilmu kepolisian, komunikolog, sosiolog, antropolog, ilmu hukum dan psikologi dari luar struktur kepolisian agar independen.
Di bagian lain, akademisi UPH ini mengapresasi langkah Kapolri yang telah menonaktifkan sementara Ferdy Sambo dari jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri.
Penonaktifan Sambo, di mata Emrus, berdampak baik demi transparansi, akuntablitas dan objektifitas penanganan perkara.
“Ini sekaligus menunjukkan bahwa Polri tetap mengedepankan tindakan 'presisi' ,” jelasnya.
Menyoal asumsi liar di publik terkait penonaktifan Ferdi Sambo yang tak terkait dengan lokus kejadian tersebut, Emrus berpandangan hal itu tergantung dari pendekatan yang digunakan.
“Kalau pendekatan yang kita pakai adalah pendekatan kuantitatif, maka memang fenomena satu dengan fenomena yang lain seolah berdiri sendiri atau parsial. Tapi kalau pendekatan kualitatif, setiap fenomena tidak lepas dari fenomena lain, saling terkait satu dengan yang lain,” terangnya.
Oleh karena itu, Emrus kembali menekankan penonaktifan sementara merupakan keputusan yang bijaksana, agar yang bersangkutan bisa fokus mendalami dan memahami peristiwa tersebut.
Ia mengajak masyarakat untuk menyerahkan penanganan kasus ini kepada pihak Kepolisian. Namun masyarakat juga diharapkan memberikan masukan berupa fakta data serta argumentasi hukum kuat.
“Tidak ada salahnya data dan fakta itu disampaikan saja kepada pihak kepolisian sehingga secara terang benderang nanti ketika terjadi gelar perkara. Saya berkeyakinan penuh bahwa Polri pasti akan menangani secara serius profesional, objektif dan 'presisi',” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di TribunJambi.com