TRIBUNMATARAMAN.COM | TULUNGAGUNG - Pernah mengalami speech delay saat masih kecil, Yamema Lovela Septiara kini membuktikan diri bisa berprestasi di bidang sastra.
Perempuan 22 tahun yang akrab dipanggil Yamema ini adalah putri daerah dari Kecamatan Kedungwaru, kabupaten Tulungagung. Dia kini menempuh pendidikan di jurusan sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.
Dengan jiwa semangat yang tinggi, dan kepercayaan diri yang luar biasa. Yamema Lovela Septiara, menjalani hidup tanpa membiarkan pandangan orang lain mempengaruhi langkahnya.
Baca juga: Dari Nganjuk ke Surabaya: Cerita Izzatun Navila Meraih Beasiswa Penuh Dari Unair
Yamema bercerita, dirinya dilahirkan dari keluarga sederhana.
Kedua orang tua Yamema berkerja di rumah. Ibunya mempunyai usaha laundry, dan ayahnya sesekali menjadi sopir panggilan ke luar kota.
Yamema merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya telah lulus D3 Farmasi, dan berkerja di rumah sakit Tulungagung. Sedangkan adiknya, masih pelajar kelas 6 SD.
Yamema ingat, saat kecil, dia mengalami perkembangan yang lebih lambat dibanding anak seusianya.
Dia baru mulai berbicara pada usia 3 tahun dan baru bisa berjalan di usia 4 tahun.
Namun, hal tersebut tidak pernah menjadi pengahalang dalam hidupnya.
Berkat dukungan penuh dari kedua orang tuanya, dan semangatnya yang besar. Yamema mampu menjalani kehidupan dengan baik. Hingga saat ini, Yamema mampu menempuh Pendidikan dengan baik.
Yamema sedari dulu menolak menyebut kondisinya sebagai keterbatasan fisik.
Baginya perbedaan dalam kehidupan, merupakan sesuatu yang wajar dan tidak perlu diperdebatkan dan dibanding-bandingkan.
“Sebelumnya, aku disclaimer dulu ya. Sebenarnya aku ga ada keterbatasan fisik. Memang dari kecil tumbuh kembangku gak secepat anak-anak yang lain. Aku mulai bisa bicara di usia 3 tahun dan mulai bisa jalan umur 4 tahun kurang 2 bulan. Setelah itu, aku langsung dimasukin ke PAUD sama ibuku. Dan, tumbuh kembangku mulai cepat sampai sekarang.” Katanya.
“Sejak kecil, aku tidak pernah punya riwayat penyakit. Keluargaku juga sehat-sehat saja," lanjutnya.
Yamema percaya, Allah menciptakan setiap orang dengan keunikan masing-masing.
"Kalau ada yang melihat aku sebagai orang dengan keterbatasan fisik, ya silakan. Aku sudah kebal sejak SD terhadap omongan orang, dan itu tidak pernah mengganggu aktivitas belajarku. Alhamdulillah, orang tua selalu mendukung dan mengajarkan untuk tidak menanggapi hal-hal seperti itu.” Imbuhnya.
Merantau
Yamema pernah bermimpi belajar sastra Indonesia di Universitas Airlangga Surabaya atau di Universitas Negeri Malang (UM).
Namun, dia gagal dalam seleksi nasional berdasarkan prestasi (SNBP). Sehingga, membuat Yamema harus mencari kampus islam lain, yang memiliki jurusan sastra Indonesia.
Pada akhirnya, Yamema berhasil lolos melalui seleksi nasional berbasis tes (SNBT), Di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA).
“Awalnya, aku ingin masuk UNAIR atau UM dengan jurusan Sastra Indonesia. Tapi aku tidak lolos SNBP. Akhirnya aku mencari cara lain, dan menemukan UINSA yang memiliki jurusan Sasindo, dan akhirnya memilihnya di SNBT sebagai pilihan kedua. Pilihan pertamaku tetap UM, tapi rezekiku ternyata di UINSA.” Katanya.
"Di sisi lain, Surabaya itu kota impian yang pengen aku tuju gitu jadi kayak pas banget keterima di UINSA.” Imbuhnya.
Keinginan untuk merantau ke Surabaya, merupakan keinginan tersendiri. Kedua orang tua Yamema sebenarnya lebih berharap dia tetap di Tulungagung. Setidaknya agar lebih hemat biaya.
“Sebenarnya, ortu pengennya cukup di UIN Tulungagung aja biar hemat biaya gitu. Dan, sebenarnya aku juga lolos tes UMPTKIN di UIN Tulungagung. Jadi waktu itu, aku dilema banget mau ambil yang mana. Tapi pengumuman SBMPTN lebih dulu seminggu dari pada UMPTKIN. Aku sendiri ngotot sih ingin merantau di Surabaya. Soalnya kembali lagi yang tadi, kalo Surabaya itu kota impian aku. Jadi, ortu ngikut kemauan aku.” Katanya.
Seperti perantau kebanyakan, di awal tinggal di Surabaya, Yamema juga merasakan homesick.
Apalagi, dia juga harus beradaptasi kembali dengan budaya, makanan, cuaca, hingga gaya komunikasi di Surabaya yang berbeda dengan kampung halamannya.
“Tantangan tersbesar itu, homesick parah pas maba dulu pengen pulang tapi ortu malah kasih saran jangan pulang. Ortu minta dirasakan dulu rasanya merantau itu kayak gimana. Untuk tantangan lain, lebih ke budaya kesehariannya sih soalnya Tulungagung sama Surabaya itu beda banget dari makanan, gaya komunikasinya, terus cuacanya.” Katanya.
Prestasi Sastra
Kecintaan Yamema pada sastra sebenarnya sudah terlihat sejak dia masih remaja.
Sewaktu kelas 3 SMP, Yamema berhasil menorehkan prestasi gemilang di bidang sastra.
Yamema meraih juara 1 dalam lomba menulis cerpen Islami tingkat kabupaten pada ajang Young Moslem Camp IV (YMC-IV).
Tak hanya itu. Selama kuliah, Yamema sudah berhasil menerbitkan dua artikel ilmiah. Artikel pertama berhasil terbit di rumah jurnal Basasatra dengan sinta 4, dan artikel ilmiah yang kedua berhasil terbit di konferensi di IAIN Madura.
“Pas SMP pernah dapet juara 1 lomba cipta cerpen islami tingkat kabupaten yg diselenggarakan oleh YMC-IV (Young Moslem Camp). Dan sewaktu kuliah, aku sudah menerbitkan dua artikel jurnal. Yang pertama di rumah jurnal Basasastra dengan sinta 4, dan yang kedua terbit di konferensi IAIN Madura,” katanya.
Yamema merupakan contoh bahwa tidak ada batasan yang tidak bisa dilalui dengan tekad dan usaha. Yamema menginspirasi banyak orang untuk terus maju, apa pun tantangan yang dihadapi.
“Selalu ingat tujuan, dan niat awal saat memulai pendidikan. Beranilah keluar dari zona nyaman, karena di luar sana mungkin ada peluang dan hal berharga yang tidak akan kamu temukan jika tetap berada di tempat yang sama,” pungkasnya.
(Firdausy Fajarina/tribunmataraman.com)
editor: eben haezer