TRIBUNMATARAMAN.COM | SURABAYA - Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur menganugerahkan penghargaan Sutasoma 2024 kepada 7 orang pegiat sastra di Jawa Timur.
Penganugerahan ini digelar di Gedung Kesenian Cak Durasim kota Surabaya, Kamis (17/10/2024).
Tujuh penerima penghargaan itu adalah sastrawan, komunitas sastra terbaik, penulis buku sastra terbaik dalam Bahasa Indonesia dan bahasa daerah, penulis buku esai sastra terbaik, dan dua guru dari bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang berdedikasi.
Baca juga: Apresiasi Karya Sastrawan Jawa Timur, Balai Bahasa Gelar Anugerah Sutasoma
“Kami mengedepankan kualitas maka kami tidak berpikir sudah lama atau tidak bergerak di bidang sastra atau bahasa, karyanya itulah. Kedua produktivitas, ketiga kontribusi membangun bahasa dan sastra di Jawa Timur,” ungkap Ketua Dewan Juri Anugerah Sutasoma Prof Dr Djoko Saryono di Gedung Kesenian Cak Durasim Surabaya, Kamis (17/10/2024).
Melalui Anugerah Sutasoma ini, Prof Djoko mengajak masyarakat merayakan kekayaan, merayakan sastra Indonesia dan daerah, menjadi identitas Jawa Timur yang generalis, holistik dan saling menerima perbedaan.
“Semoga Anugerah Sutasoma tetap berjalan karena telah menjadi barometer sastra budaya kita,” ungkapnya.
Berikut nama penerima tujuh kategori Anugerah Sutasoma 2024 dan latar belakang karya terbaik mereka yang menunjukan eksistensi, dedikasi, dan kualitas di bidangnya.
Kategori Guru Bahasa dan Sastra Daerah
Penghargaan ini diterima oleh Astrid Wangsagirindra Pudjastawa. Pria yang akrab disapa Awang ini adalah seorang guru di SMAN 2 Malang.
Awang tidak hanya berkiprah sebagai seorang guru bahasa dan sastra Jawa kepada anak didiknya tetapi seni pedalangan dan organisasi lainnya.
Kategori Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
Pada kategori ini, penghargaan dibawa pulang Heru Waluyo alias Heru Patria dari UPT SD Negeri 03 Beru, Wlingi, Blitar.
Sosok Heru Waluyo memulai karirnya sebagai guru, namun tidak hanya dikenal sebagai guru. Selain mengajar, ia juga aktif sebagai penulis dan penggerak sastra.
Kategori Komunitas Sastra
Ketekunan dalam menggeluti bidang sastra berbasis pesantren membawa Komunitas Sastra Santri Nuris dari Pondok Pesantren Nurul Islam Kabupaten Jember meraih Anugerah Sutasoma.
Kategori Sastra Indonesia
Kategori ini memilih seorang penulis maupun cerpenis yang namanya menggema dalam menulis cerpen. Namun yang menjadi titik fokus adalah buku puisi.
Buku Puisi berjudul Bilangan 60 membawa nama Wina Bojonegoro menerima anugerah sastra bergengsi. Karyanya dinilai ringan, manis, dengan diksi bersahaja yang digunakan menjadikannya terasa jujur.
“Ada 115 perempuan dari seluruh Indonesia dan beberapa di luar negeri yang bergabung di perempuan penulis Padma yang sekarang sudah melahirkan mau enam buku. Berdirinya 2021 saat pandemi,” ungkap Wina Bojonegoro.
Wina juga mengenalkan buku berjudul Hidup ini Indah yang ditulis oleh para perempuan penulis Padma.
Dalam buku tersebut menunjukan keberanian perempuan dalam menceritakan kisahnya.
“Kami banyak membuat buku terutama bersama para perempuan, sembilan buku dari Hidup ini Indah,” sebutnya.
Kategori Sastra Daerah
Kategori ini diperoleh Slamet Sri Mulyani, seorang penulis geguritan atau puisi tradisional Jawa.
Karya bukunya berjudul Pusaka yang diterbitkan pada 2023 oleh penerbit Boenga Ketjil ini berisi kumpulan geguritan.
Perkembangan kondisi terkini bangsa menjadi sumber inspirasi menarik bagi penyair. Tidak sekadar kontra, keprihatinan dan kritik sosial serta pesan moral mewarnai isi analogi ini.
Penulis Esai/Kritik Sastra
Di samping karya sastra kreatif dalam bentuk puisi maupun cerpen, Balai Bahasa Jawa Timur menemukan buku kritik sastra untuk diberi penghargaan Anugerah Sutasoma.
Penghargaan tersebut diberikan kepada penulis Buku berjudul Catatan Perkembangan Sastra Indonesia yakni Dr. Endah Imawati, M.Pd.
Buku tersebut dinilai memberikan warna baru, cara baru kerja ilmu sastra di Indonesia. Memadukan aspek sejarah sastra, teori sastra dan kritik sastra. Satu sisi menjadi angin segar dalam sastra Indonesia dalam histori biografi sastra Indonesia maupun daerah.
Endah menunjukan pendekatan sejarah lokal sastra bisa memetakan dan menggambarkan kehidupan sastra di berbagai daerah di Indonesia yang dinamis.
“Anugerah ini milik teman-teman komunitas sastra di Jawa Timur mulai dari Ngawi sampai Banyuwangi. Jadi memang sudah saatnya kita membuat sejarah sastra mulai dari lingkungan kita sendiri, dari yang lokal-lokal. Kita istimewa, terbukti komunitas sastra kita makin berkembang dengan karya-karya sebagai puncaknya,” ungkap Endah Imawati.
Kategori Sastrawan
Kategori ini diraih oleh Hidayat Raharja. Sastrawan kelahiran Sampang, 14 juli 1966 juga dikenal sebagai penyair, essay dan pelukis sketsa.
Pengabdiannya dalam dunia sastra juga dicurahkan lewat tulisan-tulisan yang diunggah media-media nasional, juga mengembangkan aktivis bersastranya melalui Sanggar Kembara pada 1987 dan komunitas sastra di Madura.
“Mudah-mudahan anugerah ini bisa menjadi pemacu bagi saya untuk tetap berkarya dan mudah-mudahan memberikan kontribusi di waktu akan datang,” ungkapnya.
(nurika anissa/tribunmataraman.com)
editor: eben haezer