Dunia Atung Yunarto berubah drastis sejak 1998. Dia yang semula bisa melihat, sejak tahun itu perlahan-lahan mulai kehilangan penglihatannya. Kini, kondisi ablasio retina, telah membuat penglihatannya sirna sama sekali.
TRIBUNMATARAMAN.COM - Sebagai Tunanetra, banyak hal yang tak bisa dilakukan Atung Yunarto dengan mudah, seperti saat dia masih bisa melihat. Karenanya, dukungan dari banyak orang pun dibutuhkan agar dia bisa menyelesaikan kebutuhannya dengan mudah. Termasuk dalam urusan layanan kesehatan.
Pria 52 tahun asal kecamatan Candi, kabupaten Sidoarjo ini pun ingat. Suatu hari di tahun lalu, dia diminta untuk mengurus dokumen BPJS Kesehatan untuk ibundanya yang telah lansia.
Dia lalu memesan ojek online dari rumahnya menuju kantor BPJS Kesehatan Cabang Sidoarjo.
Setibanya di sana, Atung yang menggunakan alat bantu jalan, langsung dibantu oleh satpam yang bertugas.
Baca juga: Pengalaman Pandu Aryo Wibisono Rawat Inap Gratis dengan BPJS Kesehatan
Satpam tersebut dengan sigap dan ramah menyambut kedatangan Atung dan mendengarkan keperluannya untuk mengurus pindah fasilitas kesehatan (Faskes) ibunya.
"Tak lama, satpam dengan sigap membantu saya masuk ke dalam kantor," kata Atung saat ditemui pekan lalu di kantor YPAB Surabaya, tempatnya bekerja sehari-hari sebagai guru SLB
Begitu masuk ke dalam kantor, satpam segera memanggil petugas dalam untuk membantu Atung mengurus keperluannya.
Petugas tersebut meminta KTP dan nomor BPJS Kesehatan Atung, lalu memintanya untuk menunggu sejenak.
Tidak seperti pengguna layanan yang lain, Atung tidak harus antre. Dia dipersilakan duduk menunggu di kursi prioritas.
Dalam waktu sekitar 20 menit, proses perpindahan Faskes ibunya sudah selesai.
"Saya sangat terkejut dan senang karena dilayani dengan sangat baik dan cepat, tanpa harus antre. Kurang lebih 20 menit, semua urusan sudah selesai," ungkap Atung dengan nada puas.
Setelah urusan pemindahan Faskes selesai, Atung kembali meminta tolong kepada petugas BPJS Kesehatan untuk mengantarnya keluar kantor.
"Saya bilang, tolong antar saya ke tempat di mana ojek online bisa jemput," lanjut Atung.
Petugas BPJS Kesehatan pun dengan senang hati menunggu bersama Atung hingga ojek online yang dipesannya tiba.
"Saya ditunggu di luar, sepertinya petugas ingin memastikan bahwa saya bisa memesan ojek online dengan benar. Bahkan sampai ojek itu datang, petugas tadi masih ada di samping saya," tuturnya, menggambarkan dedikasi petugas dalam memberikan pelayanan.
Atung menambahkan bahwa sebenarnya petugas BPJS Kesehatan bisa saja melanjutkan pekerjaan lainnya setelah membantu mengurus pindah Faskes. Namun, petugas tersebut memilih untuk tetap menemaninya hingga ojek datang.
"Saya tidak tahu apakah itu SOP (Standar Operasional Prosedur, red) atau inisiatif petugasnya saja, tetapi saya benar-benar ditunggu sampai ojek itu datang. Jujur saya sangat senang dengan pelayanan yang diberikan," ungkapnya.
Kalau pelayanan petugas sudah cukup ramah terhadap disabilitas, Atung pun berharap infrastruktur pelayanan di setiap kantor BPJS Kesehatan dan di fasilitas-fasilitas kesehatan, juga semakin aksesibel.
“Kalau di faskes, kondisinya mungkin beragam ya. Khususnya terkait infrastruktur. Ada yang mungkin masih belum aksesibel. Nah, yang diharapkan oleh kami para disabilitas adalah itu, sehingga kami bisa mandiri dan tetap aman dalam mengakses layanan kesehatan,” pungkasnya.
Makin Inklusif
Menciptakan pelayanan inklusif untuk disabilitas memang jadi standar utama BPJS Kesehatan.
Ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang pada Pasal 53 ayat 3.
Ayat itu menegaskan bahwa setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh akses atas fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
Tujuannya adalah memastikan bahwa setiap layanan kesehatan yang diberikan tidak hanya memenuhi standar kualitas, tetapi juga menjunjung tinggi prinsip inklusi dan kenyamanan bagi semua lapisan masyarakat, khususnya penyandang disabilitas.
Eva Rosdiana, Frontliner BPJS Kesehatan di Kota Kediri, menceritakan pengalaman saat melayani peserta disabalitas.
Kata dia, sudah kewajibannya untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan inklusif kepada semua peserta, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
Kata Eva, di kantor BPJS Kesehatan, ada 3 loket utama yang disediakan untuk melayani masyarakat. Salah satunya loket prioritas.
"Loket C ini khusus untuk melayani peserta prioritas, seperti ibu yang membawa bayi atau anak kecil, ibu hamil, orang tua lanjut usia, dan penyandang disabilitas. Kami ingin memastikan bahwa mereka mendapatkan pelayanan yang cepat dan efektif tanpa harus menunggu lama," tutur Eva.
"Kami menyadari bahwa penyandang disabilitas memerlukan dukungan ekstra dalam mengakses layanan kesehatan. Oleh karena itu, kami selalu siap untuk membantu mereka dalam setiap proses administrasi dan memberikan informasi yang mereka butuhkan," katanya.
Eva mengajak masyarakat yang termasuk dalam kategori peserta prioritas untuk tidak ragu atau khawatir dalam mengurus keperluan administrasi serta informasi seputar kepesertaan BPJS Kesehatan.
"Kami di BPJS Kesehatan berkomitmen memberikan pelayanan yang terbaik kepada semua peserta. Kami ingin memastikan bahwa setiap peserta, terutama yang memiliki kebutuhan khusus, merasa nyaman dan terbantu dalam setiap langkah yang mereka ambil," pungkasnya.
Penjelasan Pakar Kesehatan Masyarakat Unair
Dr. Ernawaty, drg., M.Kes, pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Airlangga, menambahkan pentingnya implementasi layanan kesehatan inklusif bagi penyandang disabilitas di seluruh fasilitas kesehatan, mulai dari tingkat pertama hingga rumah sakit tipe A, B, dan C.
Menurut Ernawaty, tanggung jawab ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 53, yang pada ayat 1 hingga 3 secara tegas mengatur hak penyediaan lingkungan inklusif bagi kaum disabilitas.
"Undang-undang ini mengharuskan semua fasilitas kesehatan untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat mengakses layanan kesehatan dengan aman, bermutu, dan terjangkau," ujarnya.
Ernawaty menjelaskan bahwa dirinya juga ditunjuk sebagai salah satu asesor akreditasi layanan kesehatan, terutama di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Dalam peran ini, ia bertanggung jawab untuk menilai apakah sebuah fasilitas kesehatan telah memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan. Proses penilaian ini mencakup berbagai aspek penting yang harus dipenuhi oleh fasilitas kesehatan.
"Dalam proses penilaian, kami melihat berbagai aspek yang mencakup penciptaan layanan inklusif bagi penyandang disabilitas. Misalnya, apakah di depan faskes sudah ada petugas yang berjaga untuk membantu, kemudian bagaimana akses jalan bagi kaum disabilitas di area faskes. Semua itu termasuk dalam penilaian kami sebagai asesor," jelas Ernawaty.
"Jika semua persyaratan tersebut sudah terpenuhi, maka faskes atau klinik tersebut akan mendapatkan akreditasi yang baik," tambahnya.
Kata dia, akreditasi yang baik bukan hanya sekadar pengakuan formal, tetapi juga merupakan cerminan dari komitmen fasilitas kesehatan dalam memberikan layanan terbaik dan inklusif bagi semua pasien, termasuk penyandang disabilitas.
Ada beberapa indikator spesifik yang dinilai dalam proses akreditasi. Pertama, adanya pelatihan khusus bagi petugas kesehatan untuk menangani kebutuhan penyandang disabilitas.
“Petugas kesehatan harus memahami cara berkomunikasi dan memberikan bantuan yang sesuai kebutuhan masing-masing penyandang disabilitas,” jelasnya. .
Kedua, Faskes harus dilengkapi dengan peralatan yang mendukung aksesibilitas, seperti ramp, lift yang dapat digunakan oleh kursi roda, serta toilet yang ramah disabilitas.
Ketiga, adanya program edukasi kesehatan yang ditujukan khusus untuk penyandang disabilitas, agar mereka mendapat informasi yang mereka butuhkan dalam format yang mudah dipahami.
Ernawaty juga menekankan pentingnya evaluasi dan umpan balik dari penyandang disabilitas yang telah menggunakan layanan di fasilitas kesehatan.
"Mendengarkan langsung dari mereka yang mengalami layanan tersebut adalah cara terbaik untuk mengetahui apa yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan," katanya.
Dengan menciptakan layanan inklusif di semua fasilitas kesehatan, dia yakin kelompok disabilitas akan dapat terlayani dengan lebih baik dan merasa lebih dihargai.
"Ini bukan hanya tentang memenuhi standar hukum, tetapi juga tentang memperlakukan setiap individu dengan martabat dan penghormatan yang layak mereka terima," katanya.
Ernawaty menekankan bahwa inklusi bukan hanya tentang infrastruktur fisik, tetapi juga tentang sikap dan budaya yang menghargai keberagaman dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang.
"Dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, kita dapat mewujudkan layanan kesehatan yang lebih adil dan setara bagi seluruh masyarakat," pungkasnya.
SUMBER: Surya Cetak/ Artikel ini telah terbit di Koran Cetak Harian Surya
Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Tribun Mataraman
(tribunmataraman.com)