Perang Beras Oplosan di Tulungagung
Perang Beras Oplosan, Penggilingan Padi di Tulungagung Masih Tertekan
Meski pemerintah memerangi beras oplosan, rupanya kebijakan itu belum menguntungkan pemilik penggilingan padi di daerah
Penulis: David Yohanes | Editor: Sri Wahyuni
TRIBUNMATARAMAN.COM I TULUNGAGUNG - Pemerintah sedang memerangi beras oplosan yang beredar luas di masyarakat.
Namun kebijakan ini ternyata belum menguntungkan pengusaha beras atau pemilik penggilingan padi di daerah.
Penyebabnya, pabrik-pabrik besar masih menyerap gabah dari petani sebagai bahan baku.
Hal ini diungkapkan seorang pemilik usaha penggilingan padi di Kecamatan Ngantru, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Fahrurozi, Rabu (13/8/2025).
Menurutnya, sejumlah mereka beras premium memang ditarik dari pasaran, namun penyerapan gabah petani masih berjalan.
“Sejumlah merek ditarik dengan alasan setop produksi atau ada sidak. Tapi di lapangan masih ada pembelian gabah petani,” ungkapnya.
Rozi menduga, setop produksi itu sekedar strategi pabrik besar untuk menunggu situasi reda.
Dengan modal besar pabrik masih bisa menyerap gabah petani sebanyak-banyaknya.
Jika situasi dianggap sudah kondusif, mereka siap produksi dan membanjiri pasar dengan produknya.
“Situasi ini tidak menguntungkan pemilik penggilingan padi, karena bahan baku dari petani harganya masih tinggi. Di Tulungagung, gabah dari petani di harga Rp 7.800 sampai Rp 7.900 per kilogram,” ujar Rozi.
Baca juga: Meski Kalah atas Argentina, Indonesia Tetap Lolos Babak 16 Besar di FIVB 2025
Lanjutnya, saat pabrik besar berhenti produksi seharusnya kekosongan barang bisa diisi penggilingan kecil.
Namun penggilingan juga mengalami kesulitan produksi, karena bahan baku sudah diserap pabrik.
Bahkan karena harganya sudah mepet, banyak penggilingan yang memilih bekerja sama dengan pabrik besar dengan memasok bahan setengah jadi berupa beras pecah kulit.
“Sudah jarang penggilingan yang sampai memproduksi beras jadi. Rata-rata memasok beras pecah kulit ke pabrik,” katanya.
Sebenarnya penggilingan digandeng Bulog untuk memasok beras medium di harga Rp 12.800 sampai Rp 12.900 per kilogram.
Namun tawaran ini dianggap kurang menarik, karena mereka bisa menjual langsung ke pasar sebagai beras curah Rp 13.000 per kilogram.
Pedagang nantinya akan menjual beras ini di harga Rp 13.500 per kilogram ke konsumen.
Sementara mereka juga bersaing dengan pabrik yang membuat produk dari rentang harga terendah di kelas medium sampai di kelas premium.
Rozi memaparkan, sebelumnya dalam seminggu kapasitas produksinya bisa mencapai 2 ton beras curah.
Namun karena pabrik juga mengeluarkan beras medium yang jadi segmen penggilingan, produksinya sekarang berkurang menjadi 2 kuintal per minggu.
“Selama ini kami sudah bersaing dengan pabrik di semua segmen harga. Mereka menang karena punya brand,” tegasnya.
Rozi pun merasakan, penertiban beras oplosan ini belum membawa dampak ke penggilingan dan pengusaha beras kecil di daerah.
Meski demikian ia berharap kebijakan ini ke depan membawa dampak positif ke pengusaha kecil seperti dirinya.
(David Yohanes/TribunMataraman.com)
Editor : Sri Wahyunik
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.